Monday, 18 July 2011

Badan Baru Pemberantas Uang Palsu

Senin, 18 July 2011
 

Pembentuk UU No 7 Tahun Tahun 2011 tentang Mata Uang meyakini peredaran uang palsu di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Karena itu, salah satu pasal dalam undang-undang ini mengamanatkan dibentuknya satu badan untuk mengkoordinasikan pemberatasan uang palsu.

Dalam penjelasan umumnya, pembentuk undang-undang menyebut kejahatan pemalsuan uang belakangan ini ternyata juga menimbulkan kejahatan lainnya, seperti terorisme, pencucian uang, pembalakan liar, dan perdagangan orang.

Untuk mengatasi potensi kejahatan seperti ini, Badan Pemberatasan Uang Palsu (Botasupal) yang saat ini berada di bawah kendali Badan Intelijen Negara dirasa tidak cukup.

“Jadi badan ini merupakan metamorfosa dari Botasupal yang sudah ada sekarang,” jelas Ketua Tim Panitia Kerja RUU Mata Uang DPR, Achsanul Qosasi, pekan lalu.

Badan baru ini, sebagaimana diamanatkan UU Mata Uang, terdiri dari lima unsur yaitu Badan Intelijen Negara, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia.

Kepala Biro Humas Bank Indonesia, Difi Johansyah, mengatakan pihaknya belum diinformasikan soal pembentukan badan baru ini. Meski demikian, ia mengakui tidak ada masalah karena BI selama ini sudah sering bekerjasama dengan Botasupal.

Senada, kepolisian pun menyatakan kesiapan. Kombes Agung Setya, Direktur Direktorat II Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, menegaskan kepolisian sudah memiliki aparat yang memberantas uang palsu.

“Saat ini, sudah ada subdirektorat Uang dan Dokumen Palsu, disebut Udpal, di bawah direktorat kriminal khusus Mabes Polri. Unit penyidik fiskal moneter pun sudah ada di setiap polda di seluruh Indonesia,” katanya.

Persoalannya, UU Mata Uang tidak mengatur dengan jelas mengenai badan baru ini. Hanya ada satu pasal dengan tiga ayat dari empat puluh pasal dalam undang-undang ini. Sebagian besar pengaturannya diserahkan kepada presiden melalui Peraturan Presiden.

Pasal 28
(1) Pemberantasan Rupiah Palsu dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu.
(2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
a. Badan Intelijen Negara;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. Kejaksaan Agung;
d. Kementerian Keuangan; dan
e. Bank Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Achsanul mengakui, DPR cenderung untuk menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah, baik melalui Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden.

“Badan apa namanya, bagaimana dan kapan bentuknya, biar nanti Peraturan Pemerintah yang menentukan,” katanya.

Dari sisi pembuatan peraturan perundang-undangan, hal ini menuai kritik. Pengajar Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum UI, Sony Maulana Sikumbang, mengatakan seharusnya di UU Mata Uang disebutkan terlebih dahulu mengenai pengaturan badan baru ini. Di antaranya mengenai bentuk badan, kedudukannya, dan soal penganggaran.

Di luar soal teknis pengundangan, Sony mempertanyakan urgensi pembentukan badan koordinasi ini. “Pertanyaan paling penting, mengapa harus dibentuk badan koordinasi. Apakah yang ada sekarang tidak cukup. Lalu, bagaimana sifat badan baru ini, apakah sementara atau tetap,” kritisnya.

Satu hal yang pasti, lanjutnya, pembentukan badan baru berarti penambahan beban bagi anggaran negara. “Tentu harus ada penganggaran baru, sekretariat baru, dan lainnya. Sementara, badan non-kementerian yang sudah ada saat ini sudah banyak sekali,” ujarnya.

Kekhawatiran Sony tidak berlebihan. Hasil penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Indonesia memiliki setidaknya lima puluh tiga lembaga non struktural, baik yang berada di bawah pemerintah maupun independen.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronal Rofiandri, mengatakan banyak di antara lembaga itu yang tidak jelas tugas serta kinerjanya. Beberapa juga terlihat memiliki tugas yang sama.

Kita baru tahu ada Dewan Gula Nasional, Dewan Buku Nasional, atau Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara. Bahkan, Komisi Kepegawaian Negara, sesuai mandat UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ternyata sampai sekarang belum terbentuk. Lebih asing lagi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), yang tidak sepopuler LIPI,” pungkasnya.

Keberadaan lembaga yang berlebihan ini tentu miris di tengah keluhan pemerintah mengenai kurangnya anggaran negara untuk subsidi berbagai kebutuhan dasar rakyat.

sumber : hukumonline.com

0 comments:

Post a Comment