Monday 5 March 2012

Demokrasi dan Dinamika Globalisasi


Muhadi Sugiono
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id

GLOBALISASI merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa diabaikan. Sekalipun bukan merupakan sebuah fenomena yang tidak diperdebatkan, tidak dapat dipungkriri globalisasi memiliki pengaruh yang luas di seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara kolektif. Politik adalah salah satu aspek kehidupan manusia yang paling terpengaruh oleh fenomena globalisasi, seperti terlihat dalam perdebatan mengenai demokrasi dalam konteks globalisasi. Bagian VII dalam buku ini secara jelas menggambarkan perdebatan ini.
Demokrasi sebagai sebuah praktek politik, tidak dapat dipungkiri, memerlukan kerangka institusional yang memadai dan negara-bangsa untuk beberapa waktu lamanya dianggap berhasil memberikan kerangka institusional yang memadai bagi penyelenggaraan demokrasi. Negara-bangsa memiliki komponen-komponen yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan demokrasi: pembatasan dan mekanisme. Bagi penyelenggaraan demokrasi, negara-bangsa terkait dengan pembatasan melalui dua hal, yakni teritorial dan kewarganegaraan.
Batas-batas teritorial sebuah negara dipahami bukan sekedar batas geografis yang memisahkan sebuah negara dengan negara lain, melainkan batas-batas politik, yang memisahkan otoritas sebuah komunitas politik (dalam bentuk kedaulatan) yang satu dengan yang lain. Konsekuensinya, hanya dalam batas-batas teritorialitas ini orang bisa berbicara mengenai segala kemungkinan: pembangunan, ketertiban, keamanan dan demokrasi. Di luar batas-batas tersebut hanya terdapat kekacauan, anarkhi dan ketidakamanan. Pemahaman mengenai dua ruang dengan dua kemungkinan yang berbeda ini sangat jelas dalam studi hubungan internasional tradisional.
Kewarganegaraan adalah bentuk pembatasan yang lain yang dihasilkan oleh institusi negara-bangsa. Konsep kewarganegaraan pada dasarnya adalah konsep yang memisahkan pemegang hak (dan kewajiban) dari bukan pemegang hak. Menyandang atribut warga negara berarti memiliki semua privilege yang akan diberikan oleh sebuah negara, yang tidak dimiliki oleh negara lain. Keamanan maupun jaminan ekonomi sosial, misalnya, adalah privilege yang bisa dituntut oleh warga negara terhadap negaranya.2
1 Makalah disampaikan dalam diskusi tentang ‘Demokrasi dan Dinamika Global,’ dalam rangka Book Launching Democracy is a Discussion I & II, diselenggarakan oleh Amarican Corner UGM dan Public Affairs Section Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Kamis, 12 April 2007.
2 Tentu saja terdapat variasi yang sangat besar dalam kaitannya dengan kapasitas (dan kemauan) negara untuk memenuhi hak-hak warga negara. Bahkan tidak jarang atribut warga negara justru tidak memberikan keuntungan apapun bagi para penyandangnya. Kemiskinan, penindasan dan bahkan pelanggaran terhadap hak-hak yang dialami oleh banyak warga menunjukkan bahwa warga negara dan privilege bukanlah merupakan dua sisi dari pata uang yang sama. 1
Negara-bangsa sebagai sebuah pelembagaan komunitas politik juga memberikan makna yang sangat besar bagi demokrasi melalui institusi-institusi dan mekanisme demokrasi. Pemilihan umum, partai politik dan lembaga-lembaga perwakilan, misalnya adalah institusi-institusi yang tidak bisa absen dalam sebuah sistem yang demokratis, sekalipun keberadaan institusi-institusi ini semata-mata tidak bisa secara otomatis menjadikan sebuah negara demokratis.
Globalisasi adalah fenomena yang cenderung dipahami sebagai antitesa dari pemisahan-pemisahan dunia ke dalam komunitas-komunitas politik berbasis negara-bangsa. Perkembangan ke arah global menjadikan negara-bangsa tidak bisa lagi diidentikan dengan pembatasan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan demokrasi. Konsekuensinya, pelaksanaan demokrasi dalam kerangka negara-bangsa menjadi tidak bermakna karena sekalipun proses dan mekanisme demokratis diterapkan tidak memiliki kaitan dengan keputusan yang diambil dalam komunitas politik tersebut. Saat ini orang melihat munculnya defisit demokrasi, yakni kesenjangan antara proses dan mekanisme pembuatan keputusan dengan keputusannya sendiri. Singkatnya, sekalipun setiap warga negara secara aktif berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, keputusan yang diambil lebih banyak ditentukan oleh mereka yang tidak memiliki privilege politik dalam proses demokrasi seperti misalnya perusahaan-perusahaan multinasional, organisasi-organisasi internasional ataupun insitusi dan kepentingan dari luar batas-batas komunitas politik tersebut.
Tulisan-tulisan di Bagian VII buku Demokrasi Adalah Sebuah Diskusi (Myers, ed., 1997, h. 42-55) berusaha untuk menawarkan solusi bagi demokrasi defisit yang berkembang seiring dengan perkembangan globalisasi. Setidaknya, dua alternatif ditawarkan untuk menggantikan wadah institusional demokrasi (negara-bangsa) ini. Tawaran pertama adalah menciptakan sebuah kerangka global. Tawaran kedua adalah mendefinisikan ulang pemahaman kita mengenai demokrasi.
Tawaran solusi bagi defisit demokrasi yang pertama muncul dalam tulisan Barber, Jihad vs McWorld. Argumen utama Barber adalah bahwa kecenderungan ke arah retribalisasi dan globalisasi, sekalipun bertentangan satu sama lain, saling memperkuat satu sama lain dan memiliki implikasi serius bagi demokrasi. Esensi dari argumen yang disampaikan oleh Barber adalah bahwa kedua perkembangan tersebut tidak lagi memberikan makna yang sangat besar bagi negara-bangsa, yang dalam periode modern sangat identik dengan kerangka institusional demokrasi. Oleh karenanya, bagi Barber, tidak ada alternatif lain kecuali mereproduksi kerangka institusional ini. Karena tantangan yang dihadapi berskala global, maka kerangka institusionalnya harus juga berskala global. Barber menawarkan konfederasi sebagai bentuk yang diidealkan.
Barber jelas bukan satu-satunya yang menawarkan alternatif ini. David Held misalnya adalah tokoh lain yang juga memiliki pandangan yang sama dengan Barber mengenai perlunya memperluas praktek demokrasi dalam skala global.
Defisit demokrasi juga mendorong orang untuk mengkaji ulang pemahaman kita mengenai demokrasi. Berbagai gerakan sosial di tingkat global yang dipahami sebagai gerakan masyarakat sipil telah mendorong orang untuk melihat prospek cerah demokrasi di masa depan dengan mendefinisikannya kembali seperti ditunjukkan misalnya oleh tulisan Oliveira dan Tandon, Masyarakat Sipil Global yang Bangkit. Esensi demokrasi, implisit dalam argumen mereka, adalah partisipasi. Munculnya berbagai gerakan global merupakan indikasi positif bagi keterlibatan warga negara dalam berbagai isyu yang selama ini cenderung menjadi privilege kelompok-kemopok kecil dalam konteks negara bangsa sebagai sebuah komunitas
2
politik. Ketidakpuasan rakyat terhadap partai politik, seperti ditinjukkan dengan rendahnya partisipasi dalam pemilihan umum, pada dasarnya merupakan gambaran dari ketidakmampuan negara-bangsa mewadahi kebutuhan rakyat akan demokrasi. Dan, oleh karenanya, gerakan masyarakat sipil memperikan solusi bagi ketidakpuasan atau kekecewaan ini.
Alternatif-alternatif terhadap defisit demokrasi di atas nampak sangat menjanjikan. Tetapi, kajian lebih dalam menunjukkan bahwa alternatif-alternatif tersebut cenderung salah mendiagnosa masalah yang dihadapi oleh demokrasi. Pada dasarnya, demokrasi hanya akan bermakna jika dipahami dalam sebagai sebuah proses politis (bukan politik). Artinya, atribut politis harus dipahami sebagai sebuah karakter yang menggambarkan adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan yang dikontestasikan secara substansial.3 Apa yang terjadi saat ini adalah kecenderungan ke arah homogenisasi dan hilangnya pilihan-pilihan substansial tersebut. Akibatnya, partai-partai yang menjadi kontestan pemilu sebenarnya tidak menawarkan alternatif yang secara substansial berbeda.
Hanya mereproduksi proses demokrasi dari nasional ke global, tanpa upaya menghadirkan kembali alternatif-alternatif ini, jelas hanya akan mengulangi masalah yang sama, dalam skala yang lebih besar. Alternatif definisi demokrasi sebagai partisipasi juga tidak banyak membantu. Gagasan ini bukan saja tidak praktis tetapi juga, yang lebih serius, cenderung bersifat fiktif karena tidak mungkin berbicara tentang hak tanpa berbicara tentang subyek yang memiliki hak tersebut. Hak sangat terkait dengan subyek, dan tidak bisa direduksi atau direpresentasi oleh kerangka yang tidak representatis seperti misalnya gerakan. Yang lebih berbahaya lagi adalah digantikannya atribut politis demokrasi dengan moral. Penggantian ini menjadikan kontestasi dalam demokrasi mengambil bentuk ekstrim, bukan kompetisi tetapi penghancuran.
Referensi
Mouffe, Chantal, 2005, On the Political, London: Routledge, Taylor & Francis Group.
Myers, 1997, ed., Demokrasi adalah Sebuah Diskusi: Keterlibatan Warga dalam Demokrasi Lama dan Baru, New London, Conn.: Connecticut College.
Schmitt, Carl, 1976, The Concept of the Political, New Brunswick: Rutgers University Press.
3 Konsep politis ini berasal dari Carl Schmitt (1976)yang melihat esensi dari konsep politis adalah kawan dan lawan. Chantal Mouffe (2005) mengembangkan pemikiran Schmitt dengan menekankan pada kontestasi sebagai esensi dari demokrasi dalam artian politis.
3

Read more »

Hukum Asuransi


A.     Pengaturan Asuransi
§  KUHPerdata
§  KUHD (Ps. 246 s/d 308)
§  UU Nomor 2 Th 1992 tentang Usaha Perasuransian
§  Keppres RI No. 40 Th ttg Usaha di Bidang Asuransi Kerugian
§  Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1249/KMK.013/1988 ttg Ketentuan & Tata Cara Pelaksanaaan Usaha di Bidang Asuransi Kerugian
§  KMK RI No. 1250/KMK.013/1988 ttg Usaha Asuransi Jiwa.

B.      Pengertian Asuransi
Menurut Pasal 246 KUHD Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1992 Pasal 1 : “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Perjanjian asuransi adalah sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi, premi yang harus dibayar oleh tertanggung kepada penanggung sebagai jasa pengalihan resiko tersebut, serta besarnya dana yang bisa diklaim di masa depan, termasuk biaya administrative dan keuntungan.
C.      Manfaat Asuransi
1.      Memberikan jaminan perlindungan dari risiko-risiko kerugian yang diderita satu pihak.
2.      Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
3.      Transfer Resiko; Dengan membayar premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan dapat memindahkan ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (resiko) ke perusahaan asuransi
4.      Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tentu dan tidak pasti.
5.      Dasar bagi pihak bank untuk memberikan kredit karena bank memerlukan jaminan perlindungan atas agunan yang diberikan oleh peminjam uang.
6.      Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar kepada pihak asuransi akan dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini khusus berlaku untuk asuransi jiwa.
7.      Menutup Loss of Earning Power seseorang atau badan usaha
D.     Asuransi dalam Islam
Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.

Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.

Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari. 

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
§  Asuransi sama dengan judi
·         Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
·         Asuransi mengandung unsur riba/renten.
§  Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
·         Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
·         Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

 II. Asuransi konvensional diperbolehkan Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
v  Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
v  Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
v  Saling menguntungkan kedua belah pihak.
v  Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
v  Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
v  Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
v  Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui.
Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)

Prinsip – prinsip dasar asuransi syariah:
1.   Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2.   Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3.   Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4.   Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5.   Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6.   Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.


Read more »

Saturday 3 March 2012

A Need for Common Understanding: Peacebuilding Commission and Its Challenges



Muhadi Sugiono2
Department of International Relations/
Center for Security and Peace Studies
Gadjah Mada University
The Peacebuilding Commission was established on December 20th, 2005 through a joint resolution of the UN Security Council (S/RES/1645) and the General Assembly (A/RES/60/180). Earlier this year, the Commission submitted a report to the General Assembly on its first year of operations done in two countries: Burundi and Siearra Leone (2007). In the report, the Peacebuilding Commission clearly indicates that the works of the Commission in the two countries have provided lessons learned for better peacebuilding policy and practice in the future. At the same time, the Commission also identifies serious challenges ahead. One of the most serious of them is how to encourage engagement of the wider but more cohesive stakeholders in the peacebuilding activities. This challenge, however, is not merely technical and organizational one. Underlying this challenge are conceptual, structural as well as practical issues. This paper deals only with the conceptual issue of the challenges facing the Peacebuilding Commission.
Peacebuilding is not a simple concept. As a consequence of more positive understanding of peace, peacebuilding is now not only associated with the efforts to bring about a condition without military or physical conflicts (negative peace), but also with those to end structural violence as well as to provide enabling conditions for individual development (positive peace). Peacebuilding consists of comprehensive activities with long term vision of stable and lasting peace. Instead of focusing on the conflict itself, peacebuilding must also necessarily deal with all the tasks intended to address problems commonly emerge in post-conflict or even preconflict environments.
While it is undoubtedly highly contested as a concept, peacebuilding has at least four components: security, political, economic development and justice, and reconciliation.
Security component of peacebuilding consists of activities intended to establish conditions within which those former conflicting parties as well as society in general can engage and interact with one another safely, confidently and non-violently. The essence of peacebuilding activity in relation to security is demilitarization of conflict through Disarmament, Demobilization and Reintegration. It has to bring about the decision of the combatants to forgo violence as a means either for change and to commit to peace. In other words, security aspect of peacebuilding is a ‘prerequisite’ for other aspects of peacebuilding (Solomon, 2005, p.19).
The very success of demilitarization, however, is closely related to other components of peacebuilding. As armed conflicts tend to bring social, political as well as economic benefits to particular groups of people, demilitarization will only be attractive to those groups as long as it is accompanied by incentives to compensate their lost of such benefits.
While security component is ‘an absolute prerequisite’ for peacebuilding, political component is necessary for the attainment of lasting peace. Political component of peacebuilding is intended to built or to change political institutions, mechanism and processes as a means to manage group conflict without using violent but using ‘authority and legitimacy’ (Cousins and Kumar, 2001, p. 12). The need to address political component of peacebuilding is based on two different arguments. First, the absence of viable political mechanism leads the conflicting parties to turn into violent means of resolving conflict. In such cases, peacebuilding must involve the design or the building of such political arrangement. Second, the presence of political arrangement which does not work properly is also one important cause of conflict. As such, peacebuilding should also open up the space for political change. In either case, the sensitivity to local or country specific context is required for a successful peacebuilding. There is no single political arrangement that suits all societies, not a particular form of democracy such as majoritarian democracy of the Westminster syste (Sisk, 1996, p. 29). A bottom up rather than top-down process of designing political arrangement, therefore, has a greater chance of success in the peacebuilding in terms of political component.
Economic component of peacebuilding means promoting peace through economic development. This has two complimentary purposes. First, activities of peacebuilding need to attract wider engagement of the people in the peace-time economy rather than war-time economy. It should also make war-time economy as impractical practices. In short, peacebuilding activities mean transforming the economy, from that of war-time to that of peace-time. It is important to note, however, that peacebuilding cannot achieve its goals unless economic issues are seriously addressed. This is for quite strong reason. As one report published by International Peace Academy notes, ‘the possession of arms is not just a function of ongoing insecurity but is also an important economic asset’ (International Peace Academy, 2003, p. 1). The consequence is that peacebuilding will undoubtedly be costly. But, maintaining conflict or war is still a lot more costly.
Finally, while peacebuilders’ attention tended to be focused on security, political as well as economic components of peacebuilding, no less important is the component of justice and reconciliation. This component, however, is the most neglected in the peacebuilding activities. As the end of war and conflict undoubtedly leaves behind broken and traumatized societies, ‘emotive, perceptual, social-psychological as well as spiritual dimensions’ of post-conflict societies must necessarily be addressed (Lederach, 1997, p. 29). 
Peacebuilding must be aimed promoting reconciliation not only among the conflicting parties, but among the wider parts of society in general. Reconciliation is a step towards the restoration and the rebuilding of war- or conflict-torn communities. The very success of reconciliation, however, presupposes that peacebuilding also addressed the issue of justice. The failure to address the issue of justice will hamper any peacebuilding efforts.
Given the complexity of the concept of peacebuilding, a common understanding is necessary for peacebuilding to succeed. This common understanding means that those engaged in the peacebuilding activities must depart from a common view of what peace is all about. Reflecting to the contemporary discussion of the notion of security, it is also important to provoke such debates on the meaning and the referent object of peace. At issues are two questions. The first question is related to the meaning of peace: what do we mean by peace?. The second question is related to the referent object of peace. Put simply, peace to whom?. While those engaged in peacebuilding seem to have reached common understanding of what constitutes peace,3 the answer to the question of the referent object of peace seem to be still debatable. As such, unless a common understanding on such issue is reached, it is still a long way to go until peacebuilding iniiatives can reach their desired goals.
References
Cousins, Elizabeth and Chetan Kumar,eds., Peacebuilding as Politics: Cultivating Peace in Fragile Societies, Boulder, Co.: Lynne Riener Publishers.
International Peace Academy, 2003, Transforming War Economics: Challenges for Peacemaking and Peacebuiding: Report of the 725th Wilton Park Conference, New York, December.
Lederach, John Paul, 1997, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies, Washington, DC.: United States Institutes of Peace Pess. 


Read more »

Referendum Konstitusi Uni Eropa Re-politisasi Kebijakan Publik di Uni EropaReferendum Konstitusi Uni Eropa Re-politisasi Kebijakan Publik di Uni Eropa



Muhadi Sugiono
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fisipol, Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id


Uni Eropa saat ini tengah menghadapi krisis. Rancangan besar bagi masa depan Eropa, yang dituangkan dalam Konstitusi Uni Eropa, ternyata tidak memperoleh tanggapan positif dari rakyat. Melalui referendum yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 2005, rakyat Perancis dan, tiga hari kemudian, rakyat Belanda secara jelas menunjukkan penolakkan mereka terhadap rancangan tersebut. Secara prinsip penolakan rakyat Perancis dan Belanda merupakan akhir dari Konstitusi Eropa,i karena Konstitusi Eropa hanya akan berlaku jika semua negara anggota Uni Eropa, yang saat ini terdiri dari 25 negara, menyetujuinya.
Penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap Konstitusi Eropa merupakan pukulan berat bagi para pendukung integrasi Eropa. Sekalipun berbagai jajak pendapat sebelum referendum cenderung menunjukkan indikasi ke arah tersebut, para pendukung integrasi Eropa nampak sangat tidak siap menerima kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Perancis dan Belanda — dua dari enam negara penggagas integrasi Eropa — tidak menginginkan integrasi Eropa lebih jauh.ii Olehkarenanya, para pendukung integrasi Eropa cenderung melihat hasil referendum di kedua negara sebenarnya bukan mencerminan penolakan rakyat kedua negara terhadap Konstitusi Eropa, melainkan merupakan protes terhadap politik atau elit politik nasional mereka masing-masing. Sekalipun referendum Konstitusi Uni Eropa yang sebenarnya dimaksudkan untuk membuat keputusan yang menyangkut masalah bersama Eropa, keputusan yang diambil oleh rakyat kedua negara ternyata sepenuhnya didominasi oleh logika politik nasional.iii Rakyat Perancis menggunakan referendum Konstitusi Eropa untuk melampiaskan ketidaksenangan mereka terhadap pemerintahan Chirac dan para elit politiknya, sedangkan rakyat Belanda menggunakan referendum untuk menunjukkan kekecewaan mereka terhadap perkembangan politik nasional yang ditandai dengan menurunnya kesejahteraan dan rasa ketidakamanan secara drastis (Fritz-Vannahme, 2005b, Polke-Majewski, 2005).
Paper ini, berbeda dengan ‘apologi’ para pendukung integrasi, berangkat dari argumen bahwa penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap Konstitusi Eropa bukan semata-mata menggambarkan hukuman rakyat kedua negara terhadap elit mereka, melainkan mencerminkan masalah yang lebih serius dalam perkembangan Uni Eropa. Singkatnya, Uni Eropa memang sedang menghadapi krisis, yakni krisis legitimasi. Eropanisasi proses pembuatan kebijakan publik yang cenderung teknokratis telah menyebabkan ‘defisit demokrasi’. Di tangan para teknokrat, birokrat dan epistemic community, rakyat kehilangan kendali terhadap berbagai kebijakan yang sangat menentukan kehidupan mereka sehari-hari. Dalam artian ini, jelas sangat prematur dan berlebihan untuk menafsirkan penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap Konstitusi Eropa sebagai beakhirnya Uni Eropa. Hasil referendum di Perancis dan Belanda lebih mecerminkan tuntutan rakyat untuk memperoleh kembali hak mereka untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan publik dan merupakan wake up call bagi elit Brussel untuk meningkatkan legitimasi mereka di mata warga Uni Eropa.
De-politisasi pembuatan kebijakan publik di Uni Eropa
Uni Eropa merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik. Dalam kurun waktu yang tidak lebih setengah abad, integrasi Eropa, yang dimulai dari sebuah kelompok kecil yang terdiri dari enam negara pada tahun 1957, telah berkembang sangat pesat menjadi sebuah entitas yang menyerupai sebuah negara. Konstitusi Eropa, jika berhasil disepakati oleh negara-negara anggotanya, akan melengkapi perkembangan kelembagaan Uni Eropa menjadi sebuah entitas yang mungkin bisa disejajarkan dengan negara-negara federal.
Teknokratisasi
Perkembangan kelembagaan Uni Eropa ke arah yang semakin solid jelas menuntut kebijakan-kebijakan yang mendukung eksistensinya. Tetapi, permasalahan yang cenderung semakin kompleks sejalan dengan perkembangan kelembagaan Uni Eropa, semakin sulit untuk ditanggapi melalui mekanisme pembuatan kebijakan yang demokratis. Olehkarenanya, bersamaan dengan meningkatnya kelembagaan Uni Eropa, terdapat kecenderungan ke arah de-politisasi dalam proses pembuatan kebijakan publik di Uni Eropa. Terutama setelah diratifikasinya Perjanjian Maastrict, hakekat teknokratis Uni Eropa menjadi sangat menonjol. Sistem pembuatan kebijakan Uni Eropa tidak lagi didasarkan semata-mata pada proses-proses politik yang melibatkan rakyat (atau melalui wakil-wakil rakyat), melainkan lebih didasarkan pada mekanisme-mekanisme teknokratis melalui kelompok-kelompok kerja, badan-badan standarisasi ataupun komite-komite ahli. Mereka berkerja dalam ruang yang relatif terisolir dari proses politik dan menghasilkan banyak (jika bukan terlalu banyak) kebijakan (jelek) yang mengatur kehidupan rakyat di semua negara anggota Uni Eropa. Kebijakan yang mengatur perdagangan, misalnya, yang seharusnya dimaksudkan untuk mendorong liberalisasi perdagangan di dalam Uni Eropa, justru cenderung merupakan kumpulan regulasi yang oleh para pelaku ekonomi dianggap sangat menghambat transaksi perdagangan di antara mereka.
Tetapi, proses pembuatan kebijakan publik yang teknokratis ini, yang hanya melibatkan para ahli dalam bidang-bidang khusus serta para pembuat kebijakan yang tidak dipilih melalui proses politik, juga telah menimbulkan reaksi yang sangat keras dan mendorong munculnya perdebatan yang sangat tajam. Dalam kerangka ini, orang berbicara tentang ‘defisit demokrasi’ dalam Uni Eropa (Wincott, 1998). Konsep defisit demokrasi pada dasarnya adalah masalah legitimasi, yang menggambarkan kesenjangan antara proses dan otoritas atau kekuasaan dalam pembuatan kebijakan. Jika otoritas dan kekuasaan untuk membuat kebijakan dalam demokrasi didasarkan pada konsensus, pemilihan umum yang bebas serta partisipasi, teknokrasi menjadikan keahlian (expertise) sebagai satu-satunya basis otoritas dan kekuasaan. Dalam perdebatan tentang ‘defisit demokrasi,’ para pengkritik kecederungan teknokratis dalam Uni Eropa menunjukkan bagaimana pembuatan kebijakan di Uni Eropa lebih didasarkan pada keahlian daripada pada mekanisme-mekanisme politik (yang demokratis). Melalui kehadiran para ahli dan epistemic communities (Richardson, 1996), tim khusus pembuat kebijakan (policy entrepreneurship) di dalam Komisi Eropa (Cram, 1993) maupun berbagai forum diskusi (Coen, 1997), pengetahuan dan keahlian (knowledge and expertise) benar-benar telah membentuk kebijakan publik di Uni Eropa.
Teknokratisasi pembuatan kebijakan di Uni Eropa memang bukan satu proses yang mengarah pada ‘pemerintahan oleh para ilmuwan’ ataupun ‘dewan teknis’ yang dibayangkan oleh Thorstein Veblen. Tetapi, mirip dengan konsepsi teknokrasi utopis di atas, para teknokrat baik di tingkat nasional maupun Uni Eropa memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pembuatan kebijakan Uni Eropa. Mereka memperoleh kekuasaan yang sangat besar melalui posisi mereka di belakang struktur-struktur formal yang ada, misalnya sebagai dewan penasehat, think thanks, EU regulatory policy dan sebagainya (Majone, 1999). Di belakang struktur formal inilah sebenarnya locus utama pembuatan kebijakan Uni Eropa berlangsung.
Perubahan hakekat kekuasaan
Teknokratisasi dalam pembuatan kebijakan di Uni Eropa sebenarnya merupakan implikasi dari perubahan yang lebih mendasar yang terjadi bukan hanya di Uni Eropa tetapi di seluruh dunia. Muncul dan semakin dominannya peran aktor di luar aktor politik dalam pembuatan kebijakan (para ahli), secara jelas mencerminkan perubahan hakekat kekuasan ke arah yang menekankan pentingnya ide atau pengetahuan. Pengetahuan memang telah menjadi dataran politik (Fischer, 1990). Konsekuensinya, ruang public menjadi semakin terdepolitisir. Seiring dengan kompleksitas dan perkembangan kelembagaan kepentingan suatu entitas politik, kebijakan publik seringkali dibuat dalam ruang yang vakum dari hingar bingar publik. Tidak ada gerakan sosial, negosiasi dan psoses kompromi dari berbagai kepentingan yang bebeda ataupun opini publik yang menyertai pengambilan suatu keputusan.
Dalam konteks Uni Eropa, karakter teknokratis dalam pembuatan kebijakan di Uni Eropa setidaknya muncul dalam 3 bentuk yang berbeda. Bentuk pertama adalah sistem engrenage yang diwarisi dari metode integrasi Monnet. Dalam sistem ini, kebijakan publik merupakan produk dari sebuah jaringan kelompok kepentingan, serikat buruh dan perusahaan-perusahaan (Haas, 1958). Di tengah-tengah jaringan ini adalah Komisi Eropa, yang menjadi moderator bagi berbagai kepentingan yang berbeda dari kelompok-kelompok tersebut. Saat ini, sistem engrenage warisan Monnet ini tetap berjalan sekalipun aktor-aktor dari jaringan interaksi yang ada mengalami perubahan. Kelancaran proses pembuatan kebijakan di Uni Eropa masih bertahan karena tetap berlangsung dalam jaringan tertutup yang terdiri dari para ahli, yang bekerja di dalam birokrasi baik di Brussel maupun di tingkat nasional dan para ahli dari perusahaan-perusahaan atau pelaku ekonomi.
Bentuk kedua karakter teknokratis tercermin dalam struktur politik Uni Eropa. Pada dasarnya, Uni Eropa dibangun atas tiga pilar perwakilan atau representasi: perwakilan para ahli, perwakilan kelompok kepentingan dan perwakilan pemerintah nasional (Andersen and Burns, 1996). Dari ketiga perwakilan hanya satu, yakni perwakilan pemerintah nasional, yang mungkin bisa diasosiasikan dengan mekanisme politik. Dua yang lain sangat mencerminkan perwakilan yang terdepolitisir jika bukan apolitis. Kedua perwakilan ini bukan produk dari proses politik. Disamping itu, terutama perwakilan para ahli, jelas lebih memberi perhatian pada isyu-isu rasionalitas dan representasi daripada isyu-isyu politis seperti distribusi, misalnya.
Bentuk ketiga adalah spesialisasi Uni Eropa sebagai sistem politik yang mengasilkan kebijakan regulasi. Dalam konteks ini, Majone, misalnya, menunjukkan bagaimana proses pembuatan kebijakan yang menyangkut regulasi sangat menekankan pada pentingnya pengetahuan atau keahlian daripada anggaran (1996), karena berkaitan dengan aspek-aspek teknis seperti standarisasi dan lebih bertujuan untuk mencapai efisiensi. Perdebatan untuk menciptakan kebijakan regulasi, olehkarenanya, lebih banyak berlangsung di lingkungan terbatas ‘para ahli’ dan bukan di lingkungan politik. Yang terakhir ini sangat memfokuskan diri pada perdebatan tentang atau yang bertujuan untuk redistribusi.iv Dan, Komisi Eropa adalah contoh konkrit dari organ Uni Eropa yang sangat teknokratis ini, yang secara ekstensif benar-benar memanfaatkkan sumber daya ini untuk kebutuhan pembuatan kebijakan regulasi di Eropa.
Defisit demokrasi, referendum dan federalisme
Pembahasan di atas menunjukkan bagaimana Uni Eropa sebenarnya sedang mengalami masalah legitimasi dalam proses pembuatan kebijakan (defisit demokrasi). Tetapi upaya untuk mengimbangi proses pembuatan kebijakan yang teknokratis dengan memperkuat Parlemen Eropa nampaknya tidak akan memberikan penyelesaian yang memadai. Sangatlah absurd untuk mengasumsikan bahwa Parlemen Eropa bisa mengontrol eksekutif. Dengan penduduk yang hampir mendekati 500 juta orang dengan tingkat ‘apatisme politik’ yang cukup tinggi di antara para pemilih, maka institusi-institusi Uni Eropa seperti Komisi Eropa, Dewan Menteri ataupun European Court of Justice, jelas akan tetap berada di atas angin.
Ada beberapa alternatif bagi Uni Eropa untuk mengatasi masalah defisit demokrasi yang semakin kuat. Salah satu cara untuk mengatasi defisit demokrasi adalah dengan mengembalikan proses pembuatan keputusan ke masing-masing negara anggota, yang lebih mencerminkan mekanisme yang lebih demokratis. Tetapi, karena alternatif ini merupakan proses yang cenderung ahistoris, sulit bagi Uni Eropa untuk mengadopsi alternatif ini. Alternatif lain yang lebih viable adalah melalui berbagai bentuk referendum. Refendum Konstitusi Eropa merupakan bukti awal bagaimana lebarnya kesenjangan antara elit dan rakyat di Eropa.
Referensi
Andersen S.S. and Burns, T., 1996, ‘The European Union and the erosion of parliamentary democracy: a study of post-parliamentary governance,’ dalam S.S. Andersen and K.A. Eliassen, eds., The Union: How Democratic Is It?, London: Sage.
Coen, D., 1997, ‘The evolution of the large firm as a political actor in the European Union,’ Journal of European Public Policy, 4/1.
Cram, L., 1993, ‘Calling the tune without paying the piper? Social Policy regulation: the role of commission in European Community social policy,’ Policy and Politics, 21/2.
Haas, E., 1958, The Uniting of Europe, Stanford: Stanford University Press.
Fischer, F., 1990, Technocracy and the Politics of Expertise, London: Sage.
Fritz-Vannahme, J., 2005a, ‘In glücklicher Verfassung,’ Die Zeit, 20.
Fritz-Vannahme, J., 2005b, ‘Verneint im Nein,’ Die Zeit, 22.
Majone, G.D., 1999, ‘The regulatory state and its legitimacy problems,’ West European Politics, 22/1.
Putnam,R., 1977, ‘Elite Transformatio in advanced industrial societies: an empirical assessment of the theory of technocracy,’ Comparative Political Studies, 10/3.
Richardson, J.J., 1996, ‘Actor-based models of national and EU policy-making,’ dalam H. Kassim and A. Menon, eds., The European Union and National Industrial Policy, London: Routledge.
Wincott, D., 1998, ‘Does the EU pervert democracy? Question of democracy in new constitutionalist thought on the future of Europe,’ European Law Journal 4/4.
*Makalah disampaikan dalam diskusi tentang ‘Belajar dari Referendum Uni Eropa,’ 9. Juli 2005, di Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
iSekalipun tidak tertutup kemungkinan bagi proses lanjutan untuk menggoalkan konstitusi tersebut. Proses lanjutan ini akan ditentukan paling cepat bulan November 2006, yakni setelah semua negara memberikan suara mereka.
iiKonstitusi Eropa merupakan upaya untuk menjadikan integrasi yang longgar menjadi lebih solid, mungkin sebuah ‘superstate.’ Konstitusi Eropa dianggap sebagai karya ‘terbaik’ dalam sejarah integrasi Eropa sejak Kesepakatan Roma 1957 (Fritz-Vannahme, 2005a). Konstitusi ini mencakup semua proses ‘ketatanegaraan‘ secara komprehensif mulai dari pengaturan yang jelas tentang hubungan dan kompetensi antara Brussel dan negara-negara anggota Uni Eropa hingga tentang hak-hak azasi warga Uni Eropa. Dalam kerangka konstitusi tersebut, Uni Eropa akan memiliki satu politik luar negeri, yang dijalankan oleh seorang menteri luar negeri.
iiiFenomena ini bagi para pendukung integrasi bukanlah merupakan fenomena baru, karena kampanye-kampanye pemilihan di Uni Eropa sebenarnya juga tidak pernah menyangkut politik Eropa, melainkan politik nasional. Hanya saja, hasil referendum ini mendapat lebih banyak perhatian karena implikasinya terhadap proyek besar masa depan Eropa.
ivPerbedaan ranah teknokratis dan ranah politik misalnya secara jelas digambarkan oleh Putnam (1977), yang melihat ranah politik sebagai ruang yang ditandai dengan redistribusi sumber daya, sementara ranah teknokratis lebih ditandai oleh mentalitas teknokratis yang sangat menekankan pada efisiensi dan positive-sum games.  

Read more »

Monday 27 February 2012

Contoh Resume (Cover Letter) English

Nursing Trainee
Administration

Engineering

Nursing

Teaching
Fresh Graduate
Freelance Marketer

Executive Assistant

Project Manager
Sales and Marketing
 

Read more »

Monday 13 February 2012

Ban Ki-moon - SekJen PBB

Ban Ki-moon
Ban Ki-moon  lahir di Eumseong, Chungcheong Utara, Korea, Kekaisaran Jepang, 13 Juni 1944; umur 67 tahun) adalah seorang diplomat Korea Selatan dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini. Ia menggantikan Kofi Annan yang telah menyelesaikan masa jabatannya pada 1 Januari 2007.
Ban pernah menjabat sebagai menteri luar negeri Republik Korea pada periode Januari 2004 hingga 1 November 2006. Pada 13 Oktober 2006, ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kedelapan pada Sidang Umum PBB dan dilantik pada 14 Desember 2006. Pada 21 Juni 2011, Ban terpilih untuk menjalankan periode keduanya sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat hasil Sidang Umum untuk masa jabatan 2012 hingga 2016.
sumber: wikipedia

Read more »