Monday 5 March 2012

Demokrasi dan Dinamika Globalisasi


Muhadi Sugiono
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id

GLOBALISASI merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa diabaikan. Sekalipun bukan merupakan sebuah fenomena yang tidak diperdebatkan, tidak dapat dipungkriri globalisasi memiliki pengaruh yang luas di seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara kolektif. Politik adalah salah satu aspek kehidupan manusia yang paling terpengaruh oleh fenomena globalisasi, seperti terlihat dalam perdebatan mengenai demokrasi dalam konteks globalisasi. Bagian VII dalam buku ini secara jelas menggambarkan perdebatan ini.
Demokrasi sebagai sebuah praktek politik, tidak dapat dipungkiri, memerlukan kerangka institusional yang memadai dan negara-bangsa untuk beberapa waktu lamanya dianggap berhasil memberikan kerangka institusional yang memadai bagi penyelenggaraan demokrasi. Negara-bangsa memiliki komponen-komponen yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan demokrasi: pembatasan dan mekanisme. Bagi penyelenggaraan demokrasi, negara-bangsa terkait dengan pembatasan melalui dua hal, yakni teritorial dan kewarganegaraan.
Batas-batas teritorial sebuah negara dipahami bukan sekedar batas geografis yang memisahkan sebuah negara dengan negara lain, melainkan batas-batas politik, yang memisahkan otoritas sebuah komunitas politik (dalam bentuk kedaulatan) yang satu dengan yang lain. Konsekuensinya, hanya dalam batas-batas teritorialitas ini orang bisa berbicara mengenai segala kemungkinan: pembangunan, ketertiban, keamanan dan demokrasi. Di luar batas-batas tersebut hanya terdapat kekacauan, anarkhi dan ketidakamanan. Pemahaman mengenai dua ruang dengan dua kemungkinan yang berbeda ini sangat jelas dalam studi hubungan internasional tradisional.
Kewarganegaraan adalah bentuk pembatasan yang lain yang dihasilkan oleh institusi negara-bangsa. Konsep kewarganegaraan pada dasarnya adalah konsep yang memisahkan pemegang hak (dan kewajiban) dari bukan pemegang hak. Menyandang atribut warga negara berarti memiliki semua privilege yang akan diberikan oleh sebuah negara, yang tidak dimiliki oleh negara lain. Keamanan maupun jaminan ekonomi sosial, misalnya, adalah privilege yang bisa dituntut oleh warga negara terhadap negaranya.2
1 Makalah disampaikan dalam diskusi tentang ‘Demokrasi dan Dinamika Global,’ dalam rangka Book Launching Democracy is a Discussion I & II, diselenggarakan oleh Amarican Corner UGM dan Public Affairs Section Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Kamis, 12 April 2007.
2 Tentu saja terdapat variasi yang sangat besar dalam kaitannya dengan kapasitas (dan kemauan) negara untuk memenuhi hak-hak warga negara. Bahkan tidak jarang atribut warga negara justru tidak memberikan keuntungan apapun bagi para penyandangnya. Kemiskinan, penindasan dan bahkan pelanggaran terhadap hak-hak yang dialami oleh banyak warga menunjukkan bahwa warga negara dan privilege bukanlah merupakan dua sisi dari pata uang yang sama. 1
Negara-bangsa sebagai sebuah pelembagaan komunitas politik juga memberikan makna yang sangat besar bagi demokrasi melalui institusi-institusi dan mekanisme demokrasi. Pemilihan umum, partai politik dan lembaga-lembaga perwakilan, misalnya adalah institusi-institusi yang tidak bisa absen dalam sebuah sistem yang demokratis, sekalipun keberadaan institusi-institusi ini semata-mata tidak bisa secara otomatis menjadikan sebuah negara demokratis.
Globalisasi adalah fenomena yang cenderung dipahami sebagai antitesa dari pemisahan-pemisahan dunia ke dalam komunitas-komunitas politik berbasis negara-bangsa. Perkembangan ke arah global menjadikan negara-bangsa tidak bisa lagi diidentikan dengan pembatasan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan demokrasi. Konsekuensinya, pelaksanaan demokrasi dalam kerangka negara-bangsa menjadi tidak bermakna karena sekalipun proses dan mekanisme demokratis diterapkan tidak memiliki kaitan dengan keputusan yang diambil dalam komunitas politik tersebut. Saat ini orang melihat munculnya defisit demokrasi, yakni kesenjangan antara proses dan mekanisme pembuatan keputusan dengan keputusannya sendiri. Singkatnya, sekalipun setiap warga negara secara aktif berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, keputusan yang diambil lebih banyak ditentukan oleh mereka yang tidak memiliki privilege politik dalam proses demokrasi seperti misalnya perusahaan-perusahaan multinasional, organisasi-organisasi internasional ataupun insitusi dan kepentingan dari luar batas-batas komunitas politik tersebut.
Tulisan-tulisan di Bagian VII buku Demokrasi Adalah Sebuah Diskusi (Myers, ed., 1997, h. 42-55) berusaha untuk menawarkan solusi bagi demokrasi defisit yang berkembang seiring dengan perkembangan globalisasi. Setidaknya, dua alternatif ditawarkan untuk menggantikan wadah institusional demokrasi (negara-bangsa) ini. Tawaran pertama adalah menciptakan sebuah kerangka global. Tawaran kedua adalah mendefinisikan ulang pemahaman kita mengenai demokrasi.
Tawaran solusi bagi defisit demokrasi yang pertama muncul dalam tulisan Barber, Jihad vs McWorld. Argumen utama Barber adalah bahwa kecenderungan ke arah retribalisasi dan globalisasi, sekalipun bertentangan satu sama lain, saling memperkuat satu sama lain dan memiliki implikasi serius bagi demokrasi. Esensi dari argumen yang disampaikan oleh Barber adalah bahwa kedua perkembangan tersebut tidak lagi memberikan makna yang sangat besar bagi negara-bangsa, yang dalam periode modern sangat identik dengan kerangka institusional demokrasi. Oleh karenanya, bagi Barber, tidak ada alternatif lain kecuali mereproduksi kerangka institusional ini. Karena tantangan yang dihadapi berskala global, maka kerangka institusionalnya harus juga berskala global. Barber menawarkan konfederasi sebagai bentuk yang diidealkan.
Barber jelas bukan satu-satunya yang menawarkan alternatif ini. David Held misalnya adalah tokoh lain yang juga memiliki pandangan yang sama dengan Barber mengenai perlunya memperluas praktek demokrasi dalam skala global.
Defisit demokrasi juga mendorong orang untuk mengkaji ulang pemahaman kita mengenai demokrasi. Berbagai gerakan sosial di tingkat global yang dipahami sebagai gerakan masyarakat sipil telah mendorong orang untuk melihat prospek cerah demokrasi di masa depan dengan mendefinisikannya kembali seperti ditunjukkan misalnya oleh tulisan Oliveira dan Tandon, Masyarakat Sipil Global yang Bangkit. Esensi demokrasi, implisit dalam argumen mereka, adalah partisipasi. Munculnya berbagai gerakan global merupakan indikasi positif bagi keterlibatan warga negara dalam berbagai isyu yang selama ini cenderung menjadi privilege kelompok-kemopok kecil dalam konteks negara bangsa sebagai sebuah komunitas
2
politik. Ketidakpuasan rakyat terhadap partai politik, seperti ditinjukkan dengan rendahnya partisipasi dalam pemilihan umum, pada dasarnya merupakan gambaran dari ketidakmampuan negara-bangsa mewadahi kebutuhan rakyat akan demokrasi. Dan, oleh karenanya, gerakan masyarakat sipil memperikan solusi bagi ketidakpuasan atau kekecewaan ini.
Alternatif-alternatif terhadap defisit demokrasi di atas nampak sangat menjanjikan. Tetapi, kajian lebih dalam menunjukkan bahwa alternatif-alternatif tersebut cenderung salah mendiagnosa masalah yang dihadapi oleh demokrasi. Pada dasarnya, demokrasi hanya akan bermakna jika dipahami dalam sebagai sebuah proses politis (bukan politik). Artinya, atribut politis harus dipahami sebagai sebuah karakter yang menggambarkan adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan yang dikontestasikan secara substansial.3 Apa yang terjadi saat ini adalah kecenderungan ke arah homogenisasi dan hilangnya pilihan-pilihan substansial tersebut. Akibatnya, partai-partai yang menjadi kontestan pemilu sebenarnya tidak menawarkan alternatif yang secara substansial berbeda.
Hanya mereproduksi proses demokrasi dari nasional ke global, tanpa upaya menghadirkan kembali alternatif-alternatif ini, jelas hanya akan mengulangi masalah yang sama, dalam skala yang lebih besar. Alternatif definisi demokrasi sebagai partisipasi juga tidak banyak membantu. Gagasan ini bukan saja tidak praktis tetapi juga, yang lebih serius, cenderung bersifat fiktif karena tidak mungkin berbicara tentang hak tanpa berbicara tentang subyek yang memiliki hak tersebut. Hak sangat terkait dengan subyek, dan tidak bisa direduksi atau direpresentasi oleh kerangka yang tidak representatis seperti misalnya gerakan. Yang lebih berbahaya lagi adalah digantikannya atribut politis demokrasi dengan moral. Penggantian ini menjadikan kontestasi dalam demokrasi mengambil bentuk ekstrim, bukan kompetisi tetapi penghancuran.
Referensi
Mouffe, Chantal, 2005, On the Political, London: Routledge, Taylor & Francis Group.
Myers, 1997, ed., Demokrasi adalah Sebuah Diskusi: Keterlibatan Warga dalam Demokrasi Lama dan Baru, New London, Conn.: Connecticut College.
Schmitt, Carl, 1976, The Concept of the Political, New Brunswick: Rutgers University Press.
3 Konsep politis ini berasal dari Carl Schmitt (1976)yang melihat esensi dari konsep politis adalah kawan dan lawan. Chantal Mouffe (2005) mengembangkan pemikiran Schmitt dengan menekankan pada kontestasi sebagai esensi dari demokrasi dalam artian politis.
3

0 comments:

Post a Comment