Muhadi
Sugiono
Jurusan
Ilmu Hubungan Internasional
Fisipol,
Universitas Gadjah Mada
Email:
msugiono@ugm.ac.id
Uni
Eropa saat ini tengah menghadapi krisis. Rancangan besar bagi masa depan Eropa,
yang dituangkan dalam Konstitusi Uni Eropa, ternyata tidak memperoleh tanggapan
positif dari rakyat. Melalui referendum yang diselenggarakan pada tanggal 29
Mei 2005, rakyat Perancis dan, tiga hari kemudian, rakyat Belanda secara jelas
menunjukkan penolakkan mereka terhadap rancangan tersebut. Secara prinsip
penolakan rakyat Perancis dan Belanda merupakan akhir dari Konstitusi Eropa,i karena
Konstitusi Eropa hanya akan berlaku jika semua negara anggota Uni Eropa, yang
saat ini terdiri dari 25 negara, menyetujuinya.
Penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap
Konstitusi Eropa merupakan pukulan berat bagi para pendukung integrasi Eropa.
Sekalipun berbagai jajak pendapat sebelum referendum cenderung menunjukkan
indikasi ke arah tersebut, para pendukung integrasi Eropa nampak sangat tidak
siap menerima kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Perancis dan Belanda — dua
dari enam negara penggagas integrasi Eropa — tidak menginginkan integrasi Eropa
lebih jauh.ii Olehkarenanya, para pendukung integrasi Eropa
cenderung melihat hasil referendum di kedua negara sebenarnya bukan mencerminan
penolakan rakyat kedua negara terhadap Konstitusi Eropa, melainkan merupakan
protes terhadap politik atau elit politik nasional mereka masing-masing.
Sekalipun referendum Konstitusi Uni Eropa yang sebenarnya dimaksudkan untuk
membuat keputusan yang menyangkut masalah bersama Eropa, keputusan yang diambil
oleh rakyat kedua negara ternyata sepenuhnya didominasi oleh logika politik
nasional.iii Rakyat Perancis menggunakan referendum Konstitusi
Eropa untuk melampiaskan ketidaksenangan mereka terhadap pemerintahan Chirac
dan para elit politiknya, sedangkan rakyat Belanda menggunakan referendum untuk
menunjukkan kekecewaan mereka terhadap perkembangan politik nasional yang
ditandai dengan menurunnya kesejahteraan dan rasa ketidakamanan secara drastis
(Fritz-Vannahme, 2005b, Polke-Majewski, 2005).
Paper ini, berbeda dengan ‘apologi’ para pendukung
integrasi, berangkat dari argumen bahwa penolakan rakyat Perancis dan Belanda
terhadap Konstitusi Eropa bukan semata-mata menggambarkan hukuman rakyat kedua
negara terhadap elit mereka, melainkan mencerminkan masalah yang lebih serius
dalam perkembangan Uni Eropa. Singkatnya, Uni Eropa memang sedang menghadapi
krisis, yakni krisis legitimasi. Eropanisasi proses pembuatan kebijakan publik
yang cenderung teknokratis telah menyebabkan ‘defisit demokrasi’. Di tangan
para teknokrat, birokrat dan epistemic community, rakyat kehilangan
kendali terhadap berbagai kebijakan yang sangat menentukan kehidupan mereka
sehari-hari. Dalam artian ini, jelas sangat prematur dan berlebihan untuk
menafsirkan penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap Konstitusi Eropa
sebagai beakhirnya Uni Eropa. Hasil referendum di Perancis dan Belanda lebih
mecerminkan tuntutan rakyat untuk memperoleh kembali hak mereka untuk terlibat
dalam pembuatan kebijakan publik dan merupakan wake up call bagi elit
Brussel untuk meningkatkan legitimasi mereka di mata warga Uni Eropa.
De-politisasi pembuatan kebijakan publik di Uni Eropa
Uni Eropa merupakan sebuah fenomena yang sangat
menarik. Dalam kurun waktu yang tidak lebih setengah abad, integrasi Eropa,
yang dimulai dari sebuah kelompok kecil yang terdiri dari enam negara pada
tahun 1957, telah berkembang sangat pesat menjadi sebuah entitas yang
menyerupai sebuah negara. Konstitusi Eropa, jika berhasil disepakati oleh
negara-negara anggotanya, akan melengkapi perkembangan kelembagaan Uni Eropa
menjadi sebuah entitas yang mungkin bisa disejajarkan dengan negara-negara
federal.
Teknokratisasi
Perkembangan kelembagaan Uni Eropa ke arah yang
semakin solid jelas menuntut kebijakan-kebijakan yang mendukung eksistensinya.
Tetapi, permasalahan yang cenderung semakin kompleks sejalan dengan
perkembangan kelembagaan Uni Eropa, semakin sulit untuk ditanggapi melalui
mekanisme pembuatan kebijakan yang demokratis. Olehkarenanya, bersamaan dengan
meningkatnya kelembagaan Uni Eropa, terdapat kecenderungan ke arah de-politisasi
dalam proses pembuatan kebijakan publik di Uni Eropa. Terutama setelah
diratifikasinya Perjanjian Maastrict, hakekat teknokratis Uni Eropa menjadi
sangat menonjol. Sistem pembuatan kebijakan Uni Eropa tidak lagi didasarkan
semata-mata pada proses-proses politik yang melibatkan rakyat (atau melalui
wakil-wakil rakyat), melainkan lebih didasarkan pada mekanisme-mekanisme
teknokratis melalui kelompok-kelompok kerja, badan-badan standarisasi ataupun
komite-komite ahli. Mereka berkerja dalam ruang yang relatif terisolir dari
proses politik dan menghasilkan banyak (jika bukan terlalu banyak) kebijakan
(jelek) yang mengatur kehidupan rakyat di semua negara anggota Uni Eropa.
Kebijakan yang mengatur perdagangan, misalnya, yang seharusnya dimaksudkan
untuk mendorong liberalisasi perdagangan di dalam Uni Eropa, justru cenderung
merupakan kumpulan regulasi yang oleh para pelaku ekonomi dianggap sangat
menghambat transaksi perdagangan di antara mereka.
Tetapi, proses pembuatan kebijakan publik yang
teknokratis ini, yang hanya melibatkan para ahli dalam bidang-bidang khusus
serta para pembuat kebijakan yang tidak dipilih melalui proses politik, juga
telah menimbulkan reaksi yang sangat keras dan mendorong munculnya perdebatan
yang sangat tajam. Dalam kerangka ini, orang berbicara tentang ‘defisit
demokrasi’ dalam Uni Eropa (Wincott, 1998). Konsep defisit demokrasi pada
dasarnya adalah masalah legitimasi, yang menggambarkan kesenjangan antara
proses dan otoritas atau kekuasaan dalam pembuatan kebijakan. Jika otoritas dan
kekuasaan untuk membuat kebijakan dalam demokrasi didasarkan pada konsensus,
pemilihan umum yang bebas serta partisipasi, teknokrasi menjadikan keahlian (expertise)
sebagai satu-satunya basis otoritas dan kekuasaan. Dalam perdebatan tentang
‘defisit demokrasi,’ para pengkritik kecederungan teknokratis dalam Uni Eropa
menunjukkan bagaimana pembuatan kebijakan di Uni Eropa lebih didasarkan pada
keahlian daripada pada mekanisme-mekanisme politik (yang demokratis). Melalui
kehadiran para ahli dan epistemic communities (Richardson, 1996), tim
khusus pembuat kebijakan (policy entrepreneurship) di dalam Komisi Eropa
(Cram, 1993) maupun berbagai forum diskusi (Coen, 1997), pengetahuan dan keahlian
(knowledge and expertise) benar-benar telah membentuk kebijakan publik
di Uni Eropa.
Teknokratisasi pembuatan kebijakan di Uni Eropa memang
bukan satu proses yang mengarah pada ‘pemerintahan oleh para ilmuwan’ ataupun
‘dewan teknis’ yang dibayangkan oleh Thorstein Veblen. Tetapi, mirip dengan
konsepsi teknokrasi utopis di atas, para teknokrat baik di tingkat nasional
maupun Uni Eropa memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pembuatan kebijakan
Uni Eropa. Mereka memperoleh kekuasaan yang sangat besar melalui posisi mereka
di belakang struktur-struktur formal yang ada, misalnya sebagai dewan
penasehat, think thanks, EU regulatory policy dan sebagainya (Majone, 1999). Di
belakang struktur formal inilah sebenarnya locus utama pembuatan
kebijakan Uni Eropa berlangsung.
Perubahan hakekat kekuasaan
Teknokratisasi dalam pembuatan kebijakan di Uni Eropa
sebenarnya merupakan implikasi dari perubahan yang lebih mendasar yang terjadi
bukan hanya di Uni Eropa tetapi di seluruh dunia. Muncul dan semakin dominannya
peran aktor di luar aktor politik dalam pembuatan kebijakan (para ahli), secara
jelas mencerminkan perubahan hakekat kekuasan ke arah yang menekankan
pentingnya ide atau pengetahuan. Pengetahuan memang telah menjadi dataran
politik (Fischer, 1990). Konsekuensinya, ruang public menjadi semakin
terdepolitisir. Seiring dengan kompleksitas dan perkembangan kelembagaan
kepentingan suatu entitas politik, kebijakan publik seringkali dibuat dalam
ruang yang vakum dari hingar bingar publik. Tidak ada gerakan sosial, negosiasi
dan psoses kompromi dari berbagai kepentingan yang bebeda ataupun opini publik
yang menyertai pengambilan suatu keputusan.
Dalam konteks Uni Eropa, karakter teknokratis dalam
pembuatan kebijakan di Uni Eropa setidaknya muncul dalam 3 bentuk yang berbeda.
Bentuk pertama adalah sistem engrenage yang diwarisi dari metode
integrasi Monnet. Dalam sistem ini, kebijakan publik merupakan produk dari
sebuah jaringan kelompok kepentingan, serikat buruh dan perusahaan-perusahaan
(Haas, 1958). Di tengah-tengah jaringan ini adalah Komisi Eropa, yang menjadi
moderator bagi berbagai kepentingan yang berbeda dari kelompok-kelompok
tersebut. Saat ini, sistem engrenage warisan Monnet ini tetap berjalan
sekalipun aktor-aktor dari jaringan interaksi yang ada mengalami perubahan.
Kelancaran proses pembuatan kebijakan di Uni Eropa masih bertahan karena tetap
berlangsung dalam jaringan tertutup yang terdiri dari para ahli, yang bekerja
di dalam birokrasi baik di Brussel maupun di tingkat nasional dan para ahli
dari perusahaan-perusahaan atau pelaku ekonomi.
Bentuk kedua karakter teknokratis tercermin dalam
struktur politik Uni Eropa. Pada dasarnya, Uni Eropa dibangun atas tiga pilar
perwakilan atau representasi: perwakilan para ahli, perwakilan kelompok
kepentingan dan perwakilan pemerintah nasional (Andersen and Burns, 1996). Dari
ketiga perwakilan hanya satu, yakni perwakilan pemerintah nasional, yang
mungkin bisa diasosiasikan dengan mekanisme politik. Dua yang lain sangat
mencerminkan perwakilan yang terdepolitisir jika bukan apolitis. Kedua
perwakilan ini bukan produk dari proses politik. Disamping itu, terutama
perwakilan para ahli, jelas lebih memberi perhatian pada isyu-isu rasionalitas
dan representasi daripada isyu-isyu politis seperti distribusi, misalnya.
Bentuk ketiga adalah spesialisasi Uni Eropa sebagai
sistem politik yang mengasilkan kebijakan regulasi. Dalam konteks ini, Majone,
misalnya, menunjukkan bagaimana proses pembuatan kebijakan yang menyangkut
regulasi sangat menekankan pada pentingnya pengetahuan atau keahlian daripada
anggaran (1996), karena berkaitan dengan aspek-aspek teknis seperti
standarisasi dan lebih bertujuan untuk mencapai efisiensi. Perdebatan untuk
menciptakan kebijakan regulasi, olehkarenanya, lebih banyak berlangsung di
lingkungan terbatas ‘para ahli’ dan bukan di lingkungan politik. Yang terakhir
ini sangat memfokuskan diri pada perdebatan tentang atau yang bertujuan untuk
redistribusi.iv Dan, Komisi Eropa adalah contoh konkrit dari organ Uni
Eropa yang sangat teknokratis ini, yang secara ekstensif benar-benar
memanfaatkkan sumber daya ini untuk kebutuhan pembuatan kebijakan regulasi di
Eropa.
Defisit demokrasi, referendum dan federalisme
Pembahasan di atas menunjukkan bagaimana Uni Eropa
sebenarnya sedang mengalami masalah legitimasi dalam proses pembuatan kebijakan
(defisit demokrasi). Tetapi upaya untuk mengimbangi proses pembuatan kebijakan
yang teknokratis dengan memperkuat Parlemen Eropa nampaknya tidak akan
memberikan penyelesaian yang memadai. Sangatlah absurd untuk mengasumsikan
bahwa Parlemen Eropa bisa mengontrol eksekutif. Dengan penduduk yang hampir
mendekati 500 juta orang dengan tingkat ‘apatisme politik’ yang cukup tinggi di
antara para pemilih, maka institusi-institusi Uni Eropa seperti Komisi Eropa,
Dewan Menteri ataupun European Court of Justice, jelas akan tetap berada di
atas angin.
Ada beberapa alternatif bagi Uni Eropa untuk mengatasi
masalah defisit demokrasi yang semakin kuat. Salah satu cara untuk mengatasi
defisit demokrasi adalah dengan mengembalikan proses pembuatan keputusan ke
masing-masing negara anggota, yang lebih mencerminkan mekanisme yang lebih
demokratis. Tetapi, karena alternatif ini merupakan proses yang cenderung ahistoris,
sulit bagi Uni Eropa untuk mengadopsi alternatif ini. Alternatif lain yang
lebih viable adalah melalui berbagai bentuk referendum. Refendum
Konstitusi Eropa merupakan bukti awal bagaimana lebarnya kesenjangan antara
elit dan rakyat di Eropa.
Referensi
Andersen S.S. and Burns, T., 1996, ‘The European Union
and the erosion of parliamentary democracy: a study of post-parliamentary
governance,’ dalam S.S. Andersen and K.A. Eliassen, eds., The Union: How
Democratic Is It?, London: Sage.
Coen, D., 1997, ‘The evolution of the large firm as a
political actor in the European Union,’ Journal of European Public Policy,
4/1.
Cram, L., 1993, ‘Calling the tune without paying the
piper? Social Policy regulation: the role of commission in European Community
social policy,’ Policy and Politics, 21/2.
Haas, E., 1958, The Uniting of Europe,
Stanford: Stanford University Press.
Fischer, F., 1990, Technocracy and the Politics of
Expertise, London: Sage.
Fritz-Vannahme, J., 2005a, ‘In glücklicher
Verfassung,’ Die Zeit, 20.
Fritz-Vannahme, J., 2005b, ‘Verneint im Nein,’ Die
Zeit, 22.
Majone, G.D., 1999, ‘The regulatory state and its
legitimacy problems,’ West European Politics, 22/1.
Putnam,R., 1977, ‘Elite Transformatio in advanced
industrial societies: an empirical assessment of the theory of technocracy,’ Comparative
Political Studies, 10/3.
Richardson, J.J., 1996, ‘Actor-based models of
national and EU policy-making,’ dalam H. Kassim and A. Menon, eds., The
European Union and National Industrial Policy, London: Routledge.
Wincott, D., 1998, ‘Does the EU pervert democracy?
Question of democracy in new constitutionalist thought on the future of
Europe,’ European Law Journal 4/4.
*Makalah disampaikan dalam diskusi
tentang ‘Belajar dari Referendum Uni Eropa,’ 9. Juli 2005, di Magister
Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
iSekalipun tidak tertutup kemungkinan
bagi proses lanjutan untuk menggoalkan konstitusi tersebut. Proses lanjutan ini
akan ditentukan paling cepat bulan November 2006, yakni setelah semua negara
memberikan suara mereka.
iiKonstitusi Eropa merupakan upaya untuk
menjadikan integrasi yang longgar menjadi lebih solid, mungkin sebuah
‘superstate.’ Konstitusi Eropa dianggap sebagai karya ‘terbaik’ dalam sejarah
integrasi Eropa sejak Kesepakatan Roma 1957 (Fritz-Vannahme, 2005a). Konstitusi
ini mencakup semua proses ‘ketatanegaraan‘ secara komprehensif mulai dari
pengaturan yang jelas tentang hubungan dan kompetensi antara Brussel dan
negara-negara anggota Uni Eropa hingga tentang hak-hak azasi warga Uni Eropa.
Dalam kerangka konstitusi tersebut, Uni Eropa akan memiliki satu politik luar
negeri, yang dijalankan oleh seorang menteri luar negeri.
iiiFenomena ini bagi para pendukung
integrasi bukanlah merupakan fenomena baru, karena kampanye-kampanye pemilihan
di Uni Eropa sebenarnya juga tidak pernah menyangkut politik Eropa, melainkan
politik nasional. Hanya saja, hasil referendum ini mendapat lebih banyak
perhatian karena implikasinya terhadap proyek besar masa depan Eropa.
ivPerbedaan ranah teknokratis dan ranah
politik misalnya secara jelas digambarkan oleh Putnam (1977), yang melihat
ranah politik sebagai ruang yang ditandai dengan redistribusi sumber daya,
sementara ranah teknokratis lebih ditandai oleh mentalitas teknokratis yang
sangat menekankan pada efisiensi dan positive-sum games.
0 comments:
Post a Comment