Saturday, 3 March 2012

Referendum Konstitusi Uni Eropa Re-politisasi Kebijakan Publik di Uni EropaReferendum Konstitusi Uni Eropa Re-politisasi Kebijakan Publik di Uni Eropa



Muhadi Sugiono
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fisipol, Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id


Uni Eropa saat ini tengah menghadapi krisis. Rancangan besar bagi masa depan Eropa, yang dituangkan dalam Konstitusi Uni Eropa, ternyata tidak memperoleh tanggapan positif dari rakyat. Melalui referendum yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 2005, rakyat Perancis dan, tiga hari kemudian, rakyat Belanda secara jelas menunjukkan penolakkan mereka terhadap rancangan tersebut. Secara prinsip penolakan rakyat Perancis dan Belanda merupakan akhir dari Konstitusi Eropa,i karena Konstitusi Eropa hanya akan berlaku jika semua negara anggota Uni Eropa, yang saat ini terdiri dari 25 negara, menyetujuinya.
Penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap Konstitusi Eropa merupakan pukulan berat bagi para pendukung integrasi Eropa. Sekalipun berbagai jajak pendapat sebelum referendum cenderung menunjukkan indikasi ke arah tersebut, para pendukung integrasi Eropa nampak sangat tidak siap menerima kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Perancis dan Belanda — dua dari enam negara penggagas integrasi Eropa — tidak menginginkan integrasi Eropa lebih jauh.ii Olehkarenanya, para pendukung integrasi Eropa cenderung melihat hasil referendum di kedua negara sebenarnya bukan mencerminan penolakan rakyat kedua negara terhadap Konstitusi Eropa, melainkan merupakan protes terhadap politik atau elit politik nasional mereka masing-masing. Sekalipun referendum Konstitusi Uni Eropa yang sebenarnya dimaksudkan untuk membuat keputusan yang menyangkut masalah bersama Eropa, keputusan yang diambil oleh rakyat kedua negara ternyata sepenuhnya didominasi oleh logika politik nasional.iii Rakyat Perancis menggunakan referendum Konstitusi Eropa untuk melampiaskan ketidaksenangan mereka terhadap pemerintahan Chirac dan para elit politiknya, sedangkan rakyat Belanda menggunakan referendum untuk menunjukkan kekecewaan mereka terhadap perkembangan politik nasional yang ditandai dengan menurunnya kesejahteraan dan rasa ketidakamanan secara drastis (Fritz-Vannahme, 2005b, Polke-Majewski, 2005).
Paper ini, berbeda dengan ‘apologi’ para pendukung integrasi, berangkat dari argumen bahwa penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap Konstitusi Eropa bukan semata-mata menggambarkan hukuman rakyat kedua negara terhadap elit mereka, melainkan mencerminkan masalah yang lebih serius dalam perkembangan Uni Eropa. Singkatnya, Uni Eropa memang sedang menghadapi krisis, yakni krisis legitimasi. Eropanisasi proses pembuatan kebijakan publik yang cenderung teknokratis telah menyebabkan ‘defisit demokrasi’. Di tangan para teknokrat, birokrat dan epistemic community, rakyat kehilangan kendali terhadap berbagai kebijakan yang sangat menentukan kehidupan mereka sehari-hari. Dalam artian ini, jelas sangat prematur dan berlebihan untuk menafsirkan penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap Konstitusi Eropa sebagai beakhirnya Uni Eropa. Hasil referendum di Perancis dan Belanda lebih mecerminkan tuntutan rakyat untuk memperoleh kembali hak mereka untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan publik dan merupakan wake up call bagi elit Brussel untuk meningkatkan legitimasi mereka di mata warga Uni Eropa.
De-politisasi pembuatan kebijakan publik di Uni Eropa
Uni Eropa merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik. Dalam kurun waktu yang tidak lebih setengah abad, integrasi Eropa, yang dimulai dari sebuah kelompok kecil yang terdiri dari enam negara pada tahun 1957, telah berkembang sangat pesat menjadi sebuah entitas yang menyerupai sebuah negara. Konstitusi Eropa, jika berhasil disepakati oleh negara-negara anggotanya, akan melengkapi perkembangan kelembagaan Uni Eropa menjadi sebuah entitas yang mungkin bisa disejajarkan dengan negara-negara federal.
Teknokratisasi
Perkembangan kelembagaan Uni Eropa ke arah yang semakin solid jelas menuntut kebijakan-kebijakan yang mendukung eksistensinya. Tetapi, permasalahan yang cenderung semakin kompleks sejalan dengan perkembangan kelembagaan Uni Eropa, semakin sulit untuk ditanggapi melalui mekanisme pembuatan kebijakan yang demokratis. Olehkarenanya, bersamaan dengan meningkatnya kelembagaan Uni Eropa, terdapat kecenderungan ke arah de-politisasi dalam proses pembuatan kebijakan publik di Uni Eropa. Terutama setelah diratifikasinya Perjanjian Maastrict, hakekat teknokratis Uni Eropa menjadi sangat menonjol. Sistem pembuatan kebijakan Uni Eropa tidak lagi didasarkan semata-mata pada proses-proses politik yang melibatkan rakyat (atau melalui wakil-wakil rakyat), melainkan lebih didasarkan pada mekanisme-mekanisme teknokratis melalui kelompok-kelompok kerja, badan-badan standarisasi ataupun komite-komite ahli. Mereka berkerja dalam ruang yang relatif terisolir dari proses politik dan menghasilkan banyak (jika bukan terlalu banyak) kebijakan (jelek) yang mengatur kehidupan rakyat di semua negara anggota Uni Eropa. Kebijakan yang mengatur perdagangan, misalnya, yang seharusnya dimaksudkan untuk mendorong liberalisasi perdagangan di dalam Uni Eropa, justru cenderung merupakan kumpulan regulasi yang oleh para pelaku ekonomi dianggap sangat menghambat transaksi perdagangan di antara mereka.
Tetapi, proses pembuatan kebijakan publik yang teknokratis ini, yang hanya melibatkan para ahli dalam bidang-bidang khusus serta para pembuat kebijakan yang tidak dipilih melalui proses politik, juga telah menimbulkan reaksi yang sangat keras dan mendorong munculnya perdebatan yang sangat tajam. Dalam kerangka ini, orang berbicara tentang ‘defisit demokrasi’ dalam Uni Eropa (Wincott, 1998). Konsep defisit demokrasi pada dasarnya adalah masalah legitimasi, yang menggambarkan kesenjangan antara proses dan otoritas atau kekuasaan dalam pembuatan kebijakan. Jika otoritas dan kekuasaan untuk membuat kebijakan dalam demokrasi didasarkan pada konsensus, pemilihan umum yang bebas serta partisipasi, teknokrasi menjadikan keahlian (expertise) sebagai satu-satunya basis otoritas dan kekuasaan. Dalam perdebatan tentang ‘defisit demokrasi,’ para pengkritik kecederungan teknokratis dalam Uni Eropa menunjukkan bagaimana pembuatan kebijakan di Uni Eropa lebih didasarkan pada keahlian daripada pada mekanisme-mekanisme politik (yang demokratis). Melalui kehadiran para ahli dan epistemic communities (Richardson, 1996), tim khusus pembuat kebijakan (policy entrepreneurship) di dalam Komisi Eropa (Cram, 1993) maupun berbagai forum diskusi (Coen, 1997), pengetahuan dan keahlian (knowledge and expertise) benar-benar telah membentuk kebijakan publik di Uni Eropa.
Teknokratisasi pembuatan kebijakan di Uni Eropa memang bukan satu proses yang mengarah pada ‘pemerintahan oleh para ilmuwan’ ataupun ‘dewan teknis’ yang dibayangkan oleh Thorstein Veblen. Tetapi, mirip dengan konsepsi teknokrasi utopis di atas, para teknokrat baik di tingkat nasional maupun Uni Eropa memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pembuatan kebijakan Uni Eropa. Mereka memperoleh kekuasaan yang sangat besar melalui posisi mereka di belakang struktur-struktur formal yang ada, misalnya sebagai dewan penasehat, think thanks, EU regulatory policy dan sebagainya (Majone, 1999). Di belakang struktur formal inilah sebenarnya locus utama pembuatan kebijakan Uni Eropa berlangsung.
Perubahan hakekat kekuasaan
Teknokratisasi dalam pembuatan kebijakan di Uni Eropa sebenarnya merupakan implikasi dari perubahan yang lebih mendasar yang terjadi bukan hanya di Uni Eropa tetapi di seluruh dunia. Muncul dan semakin dominannya peran aktor di luar aktor politik dalam pembuatan kebijakan (para ahli), secara jelas mencerminkan perubahan hakekat kekuasan ke arah yang menekankan pentingnya ide atau pengetahuan. Pengetahuan memang telah menjadi dataran politik (Fischer, 1990). Konsekuensinya, ruang public menjadi semakin terdepolitisir. Seiring dengan kompleksitas dan perkembangan kelembagaan kepentingan suatu entitas politik, kebijakan publik seringkali dibuat dalam ruang yang vakum dari hingar bingar publik. Tidak ada gerakan sosial, negosiasi dan psoses kompromi dari berbagai kepentingan yang bebeda ataupun opini publik yang menyertai pengambilan suatu keputusan.
Dalam konteks Uni Eropa, karakter teknokratis dalam pembuatan kebijakan di Uni Eropa setidaknya muncul dalam 3 bentuk yang berbeda. Bentuk pertama adalah sistem engrenage yang diwarisi dari metode integrasi Monnet. Dalam sistem ini, kebijakan publik merupakan produk dari sebuah jaringan kelompok kepentingan, serikat buruh dan perusahaan-perusahaan (Haas, 1958). Di tengah-tengah jaringan ini adalah Komisi Eropa, yang menjadi moderator bagi berbagai kepentingan yang berbeda dari kelompok-kelompok tersebut. Saat ini, sistem engrenage warisan Monnet ini tetap berjalan sekalipun aktor-aktor dari jaringan interaksi yang ada mengalami perubahan. Kelancaran proses pembuatan kebijakan di Uni Eropa masih bertahan karena tetap berlangsung dalam jaringan tertutup yang terdiri dari para ahli, yang bekerja di dalam birokrasi baik di Brussel maupun di tingkat nasional dan para ahli dari perusahaan-perusahaan atau pelaku ekonomi.
Bentuk kedua karakter teknokratis tercermin dalam struktur politik Uni Eropa. Pada dasarnya, Uni Eropa dibangun atas tiga pilar perwakilan atau representasi: perwakilan para ahli, perwakilan kelompok kepentingan dan perwakilan pemerintah nasional (Andersen and Burns, 1996). Dari ketiga perwakilan hanya satu, yakni perwakilan pemerintah nasional, yang mungkin bisa diasosiasikan dengan mekanisme politik. Dua yang lain sangat mencerminkan perwakilan yang terdepolitisir jika bukan apolitis. Kedua perwakilan ini bukan produk dari proses politik. Disamping itu, terutama perwakilan para ahli, jelas lebih memberi perhatian pada isyu-isu rasionalitas dan representasi daripada isyu-isyu politis seperti distribusi, misalnya.
Bentuk ketiga adalah spesialisasi Uni Eropa sebagai sistem politik yang mengasilkan kebijakan regulasi. Dalam konteks ini, Majone, misalnya, menunjukkan bagaimana proses pembuatan kebijakan yang menyangkut regulasi sangat menekankan pada pentingnya pengetahuan atau keahlian daripada anggaran (1996), karena berkaitan dengan aspek-aspek teknis seperti standarisasi dan lebih bertujuan untuk mencapai efisiensi. Perdebatan untuk menciptakan kebijakan regulasi, olehkarenanya, lebih banyak berlangsung di lingkungan terbatas ‘para ahli’ dan bukan di lingkungan politik. Yang terakhir ini sangat memfokuskan diri pada perdebatan tentang atau yang bertujuan untuk redistribusi.iv Dan, Komisi Eropa adalah contoh konkrit dari organ Uni Eropa yang sangat teknokratis ini, yang secara ekstensif benar-benar memanfaatkkan sumber daya ini untuk kebutuhan pembuatan kebijakan regulasi di Eropa.
Defisit demokrasi, referendum dan federalisme
Pembahasan di atas menunjukkan bagaimana Uni Eropa sebenarnya sedang mengalami masalah legitimasi dalam proses pembuatan kebijakan (defisit demokrasi). Tetapi upaya untuk mengimbangi proses pembuatan kebijakan yang teknokratis dengan memperkuat Parlemen Eropa nampaknya tidak akan memberikan penyelesaian yang memadai. Sangatlah absurd untuk mengasumsikan bahwa Parlemen Eropa bisa mengontrol eksekutif. Dengan penduduk yang hampir mendekati 500 juta orang dengan tingkat ‘apatisme politik’ yang cukup tinggi di antara para pemilih, maka institusi-institusi Uni Eropa seperti Komisi Eropa, Dewan Menteri ataupun European Court of Justice, jelas akan tetap berada di atas angin.
Ada beberapa alternatif bagi Uni Eropa untuk mengatasi masalah defisit demokrasi yang semakin kuat. Salah satu cara untuk mengatasi defisit demokrasi adalah dengan mengembalikan proses pembuatan keputusan ke masing-masing negara anggota, yang lebih mencerminkan mekanisme yang lebih demokratis. Tetapi, karena alternatif ini merupakan proses yang cenderung ahistoris, sulit bagi Uni Eropa untuk mengadopsi alternatif ini. Alternatif lain yang lebih viable adalah melalui berbagai bentuk referendum. Refendum Konstitusi Eropa merupakan bukti awal bagaimana lebarnya kesenjangan antara elit dan rakyat di Eropa.
Referensi
Andersen S.S. and Burns, T., 1996, ‘The European Union and the erosion of parliamentary democracy: a study of post-parliamentary governance,’ dalam S.S. Andersen and K.A. Eliassen, eds., The Union: How Democratic Is It?, London: Sage.
Coen, D., 1997, ‘The evolution of the large firm as a political actor in the European Union,’ Journal of European Public Policy, 4/1.
Cram, L., 1993, ‘Calling the tune without paying the piper? Social Policy regulation: the role of commission in European Community social policy,’ Policy and Politics, 21/2.
Haas, E., 1958, The Uniting of Europe, Stanford: Stanford University Press.
Fischer, F., 1990, Technocracy and the Politics of Expertise, London: Sage.
Fritz-Vannahme, J., 2005a, ‘In glücklicher Verfassung,’ Die Zeit, 20.
Fritz-Vannahme, J., 2005b, ‘Verneint im Nein,’ Die Zeit, 22.
Majone, G.D., 1999, ‘The regulatory state and its legitimacy problems,’ West European Politics, 22/1.
Putnam,R., 1977, ‘Elite Transformatio in advanced industrial societies: an empirical assessment of the theory of technocracy,’ Comparative Political Studies, 10/3.
Richardson, J.J., 1996, ‘Actor-based models of national and EU policy-making,’ dalam H. Kassim and A. Menon, eds., The European Union and National Industrial Policy, London: Routledge.
Wincott, D., 1998, ‘Does the EU pervert democracy? Question of democracy in new constitutionalist thought on the future of Europe,’ European Law Journal 4/4.
*Makalah disampaikan dalam diskusi tentang ‘Belajar dari Referendum Uni Eropa,’ 9. Juli 2005, di Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
iSekalipun tidak tertutup kemungkinan bagi proses lanjutan untuk menggoalkan konstitusi tersebut. Proses lanjutan ini akan ditentukan paling cepat bulan November 2006, yakni setelah semua negara memberikan suara mereka.
iiKonstitusi Eropa merupakan upaya untuk menjadikan integrasi yang longgar menjadi lebih solid, mungkin sebuah ‘superstate.’ Konstitusi Eropa dianggap sebagai karya ‘terbaik’ dalam sejarah integrasi Eropa sejak Kesepakatan Roma 1957 (Fritz-Vannahme, 2005a). Konstitusi ini mencakup semua proses ‘ketatanegaraan‘ secara komprehensif mulai dari pengaturan yang jelas tentang hubungan dan kompetensi antara Brussel dan negara-negara anggota Uni Eropa hingga tentang hak-hak azasi warga Uni Eropa. Dalam kerangka konstitusi tersebut, Uni Eropa akan memiliki satu politik luar negeri, yang dijalankan oleh seorang menteri luar negeri.
iiiFenomena ini bagi para pendukung integrasi bukanlah merupakan fenomena baru, karena kampanye-kampanye pemilihan di Uni Eropa sebenarnya juga tidak pernah menyangkut politik Eropa, melainkan politik nasional. Hanya saja, hasil referendum ini mendapat lebih banyak perhatian karena implikasinya terhadap proyek besar masa depan Eropa.
ivPerbedaan ranah teknokratis dan ranah politik misalnya secara jelas digambarkan oleh Putnam (1977), yang melihat ranah politik sebagai ruang yang ditandai dengan redistribusi sumber daya, sementara ranah teknokratis lebih ditandai oleh mentalitas teknokratis yang sangat menekankan pada efisiensi dan positive-sum games.  

0 comments:

Post a Comment