Sunday 25 December 2011

Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pembentukan Komisi Yudisial di sebuah negara dengan segenap kewenangan yang diberikan kepadanya tentu sangat ditentukan oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi. Oleh karena itu, tidak ada kesamaan Komisi Yudisial di suatu negara dengan Komisi Yudisial di negara lain. Terkait hal itu, beberapa persoalan yang berkaitan dengan kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan, fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan, dan mekanisme pengawasan Komisi Yudisial harus mendapatkan penjelasan yang memadai. Pada titik ini penulis ingin mengemukakan beberapa hal terkait dengan penguatan Komisi Yudisial di masa yang akan datang.
Pertama, dalam perspektif hukum tata negara, secara kelembagaan, Komisi Yudisial dapat dikatakan sebagai komisi yang memiliki keunikan jika dibandingkan dengan komisi lain. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945, yaitu Pasal 24B. Memang, komisi pemilihan umum juga mempunyai kewenangan yang diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945, yaitu Pasal 22E ayat (5), tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan sebuah nama definit. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf kapital, yang menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum apa pun nama lembaganya. Selain itu, berbeda dengan komisi-komisi yang lain, Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam pengertian sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUDNRI Tahun 1945.
Dalam sebuah penelitian yang diselenggaran Komisi Hukum Nasional pada tahun 2008, penulis menyatakan bahwa dalam kekuasaan kehakiman setidaknya terdapat 2 (dua) rezim konsep yang sekilas mungkin dapat dipahami sebagai kontradiktif antara satu dengan lainnya, yakni konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak (independence and impartial judiciary)di satu sisi dan konsep akuntabilitas publik (public accountability) di sisi lain.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak atau independensi kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang mutlak harus ada karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Konsep independensi kekuasaan kehakiman ini mengharamkan adanya tekanan, pengaruh, dan campur tangan dari siapa pun.
Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi peradilan melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentudari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya.
Masih menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan. Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial). Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif.
Aktivitas melakukan pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat oleh hakim semacam ini, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, sudah keluar dari pengertian pengawasan yang harus diartikan hanya sebagai pengawasan etik. Menurut Mahkamah Konstitusi, frasa "dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, yang seharusnya hanya memberikan sebagian kewenangan pengawasan etik kepada Komisi Yudisial, secara sadar ataupun tidak, telah ditafsirkan dan dipraktikkan sebagai pengawasan teknis justisial dengan cara memeriksa putusan. Padahal, norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen) sesuai dengan hukum acara. Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan sebagai pengawasan di luar mekanisme hukum acara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar (de inhoud van hetvonnis geld als waard). Sehingga, apabila suatu putusan hakim dianggap mengandung sesuatu kekeliruan maka pengawasan yang dilakukan dengan cara penilaian ataupun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum (rechtsmidellen)menurut ketentuan hukum acara yang berlaku. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak warga negara, khususnya para ahli hukum, untuk menilai putusan hakim melalui kegiatan ilmiah dalam forum atau media ilmiah, seperti seminar, ulasan dalam jurnal hukum (law review), atau kegiatan ilmiah lainnya.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, kalaupun misalnya Komisi Yudisial diberi tugas untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim, sebaiknya kewenangan ini tidak dikaitkan dengan  wewenang Komisi Yudisial berupa ”wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, melainkan dikaitkan dengan  ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung”. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim semata-mata untuk melihat apakah rekam jejak putusan yang pernah dibuat dapat mendukung kariernya ke depan, sehingga Komisi Yudisial memiliki preferensi untuk mengusulkannya menjadi hakim agung. Jadi, pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial tidak ada sangkut pautnya dengan teknis justisial, karena memang putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen).
Tegasnya, tugas Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim sebaiknya diarahkan untuk tujuan yang berupa menggali informasi sebanyak mungkin rekam jejak seorang hakim. Segala logika hukum yang dibangun oleh seorang hakim dalam sebuah putusan dan dissenting opinion seyogianya menjadi salah satu aspek penting bagi Komisi Yudisial untuk menjaring hakim tertentu yang akan diusulkannya menjadi hakim agung kepada DPR. Patut dipertimbangkan pula, misalnya, putusan hakim yang menangani perkara yang kurang lebih berlatar belakang dan berkonstruksi hukum yang sama, tetapi putusan yang dijatuhkan berbeda. Dalam perkara pidana, misalnya, sering dijumpai adanya penjatuhan hukuman kepada pelaku kejahatan yang kurang lebih sama, namun pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim mempunyai selisih yang signifikan. Hal ini lazim disebut dengan “disparitas pidana” (sentencing disparity). Aaron J. Rappaport menyatakan bahwa “... sentencing disparity ... occurred when similarlysituated offenders received disparate sentences.” [18]
Menurut Muladi, disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan sanksi pidana yang berbeda-beda tanpa alasan rasional (unwarranted), baik terhadap tindak pidana yang sama maupun tindak pidana yang kurang lebih sama ancaman pidananya. Disparitas pidana menimbulkan sikap tidak puas bagi terpidana, keluarganya, dan bagi praktik penegakan hukum serta pendidikan hukum. Disparitas pidana ini bertentangan dengan salah satu prinsip supremasi hukum, yakni penerapan hukum harus menjunjung tinggi equalityjustice, dan certainty. Selain itu, di berbagai negara, disparitas pidana selalau dikaitkan dengan diskriminasi yang diartikan sebagai preferential treatment of a person or a group of people based on certain characteristics such as religion, race, gender, political opinion, property, status, colour, etc. [19] 
Di beberapa negara, terjadinya “disparitas pidana” ini meresahkan para pencari keadilan, karena sangat mengganggu kepastian hukum dan dapat merusak kredibilitas lembaga peradilan. Untuk mengurangi terjadinya “disparitas pidana” ini, beberapa negara membentuk lembaga semacam sentencing commission untuk mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” dalam putusan hakim. Di negara lain, untuk mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” ini, dibentuk judicial service commission.
Dengan demikian, tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial sebaiknya tidak dikaitkan dengan aspek pengawasan Komisi Yudisial, melainkan aspek rekrutmen hakim. Jadi, hakim yang dalam putusannya mengandung “disparitas pidana”, misalnya, dan dinilai mencederai nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, akan menjadi catatan Komisi Yudisial apabila ia memiliki peluang untuk dicalonkan menjadi hakim agung. Tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial yang dikaitkan dengan aspek pengawasan Komisi Yudisial hanya akan menuai resistensi dari kalangan hakim dan telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “sudah keluar dari pengertian pengawasan etik”.
Akan tetapi, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.” Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mutasi” dalam ketentuan ini meliputi juga promosi dan demosi. Penulis khawatir bahwa ketentuan ini akan rawan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi karena dapat disimpulkan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pemeriksaan putusan sudah keluar dari pengertian pengawasan etik.

0 comments:

Post a Comment