Saturday, 1 October 2011

Doktrin Negara Hukum dan Kewenangan Pemerintahan


Pernyataan konstitusional dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat (3)  bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum mengandung makna luas tentang berlakunya prinsip negara berdasarkan hukum (rechtsstaat) seperti di berbagai berbagai negara lain. Menurut Willem Koninjnenbelt, terdapat empat unsur penting gagasan negara hukum yaitu:
a.pelaksanaan kekuasaan memerintah harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang yang diakui (wetmatigheid van bestuur);
b.pemerintah harus menghormati hak-hak asasi manusia (grondrechten);
c.kewenangan pemerintahan tidak boleh terpusat melainkan diserahkan kepada berbagai organ negara, yang berimbang dan saling mengawasi (machtsverdeling); dan
d.perbuatan/tindakan pemerintahan harus dapat dikontrol oleh badan peradilan yang menilai secara bebas sahnya perbuatan tersebut (rechterlijke controle).
a.Secara umum dapat dijelaskan bahwa negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat), seperti teori yang diajarkan oleh John Locke dan Montesquieu, bertujuan agar orang yang berkuasa tidak menggunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, karena itu perlu diberikan arahan untuk membatasi kekuasaan tersebut.
Unsur pada huruf a  diartikan pula bahwa semua kewenangan untuk menjalankan pemerintahan atau perbuatan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang Dasar atau undang-undang. Jika tidak, maka perbuatan pemerintahan tersebut dianggap tidak sah (ongeldig). Dengan demikian hanya terdapat tiga kemungkinan.
Pertama, kewenangan pemerintahan langsung diberikan oleh pembentuk undang-undang kepada organ pemerintahan;
Kedua, kewenangan pemerintahan yang diberikan berdasarkan peraturan undang-undangan (wettelijke regeling) dialihkan kepada suatu organ pemerintahan.
Ketiga, suatu kewenangan organ yang dalam pelaksanaannya diberikan kepada organ lain, namun tetap dijalankan atas nama organ yang memberi perintah.
Kewenangan pertama disebut atribusi yang berarti pemberian kewenangan menjalankan pemerintahan oleh pembentuk undang-undang kepada suatu organ pemerintahan.
Kewenangan kedua disebut delegasi, yaitu pelimpahan kewenangan (overdracht) oleh suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintah yang lain.
Kewenangan ketiga disebut mandat yaitu suatu organ pemerintahan membiarkan kewenangannya dilaksanakan oleh organ lain atas namanya.
Pada dasarnya keempat unsur dimaksud diwujudkan di Indonesia yang disesuaikan dengan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945.
Mengenai unsur pertama, yaitu perbuatan/tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan menelaah substansi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang merupakan pelaksanaan (undang-undang organik) dari Pasal 22A UUD 1945, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dibedakan atas:

  • peraturan yang termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas: Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah (Pasal 7 ayat (1); dan
  • jenis peraturan lainnya (yang tidak termasuk dalam jenis dan hierarki), yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang  lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4) dan penjelasannya). Jenis peraturan dimaksud antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Kategori Norma Hukum

Apakah negara hukum mengenal hanya semata-mata seperti kedua jenis peraturan tersebut di atas? Berdasarkan kajian dalam hukum administrasi dan ilmu perundang-undangan, khususnya tentang norma, dapat diperoleh pengertian bahwa norma hukum (rechtsnorm) itu ada dalam bentuk peraturan-peraturan (regels) dan ada pula dalam bentuk ketentuan lainnya (andere bepalingen).
Menurut Waaldijk, peraturan-peraturan (regelingen) itu terdiri atas peraturan (regels) dan peraturan lainnya (andere bepalingen). Yang dimaksud dengan peraturan adalah ketentuan yang dengan sendirinya memiliki suatu makna normatif; ketentuan yang menyatakan bahwa sesuatu  harus (tidak harus) dilakukan, atau boleh (tidak boleh) dilakukan. (Regels zijn bepalingen  die op zichzelf al een normatieve betekenis hebben; bepalingen waarin staats dat iets (niet) moet of (niet) mag). Sedangkan berbagai bentuk ketentuan lain adalah karena berhubungan dengan peraturan, memiliki suatu makna normatif (andere soorten bepalingen, die slechts in samenhang met regels een normatieve betekenis hebben).
Untuk membedakan kedua hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan kaidah logika (berpikir) bahwa suatu peraturan dibentuk dengan tiga macam unsur yang terdiri atas:
(i)  subyek, yaitu orang pribadi (personen) maupun instansi yang boleh (tidak boleh) atau harus (tidak harus) melakukan sesuatu. Subyek dalam norma disebut alamat/sasaran norma (normadreesaten);
(ii)  karakter, yaitu unsur peraturan yang memperlihatkan adanya norma yang mengharuskan, membolehkan, tidak mengharuskan, atau tidak membolehkan sesuatu. Unsur karakter disebut nexus.
(iii)  obyek, yaitu unsur tingkah laku (gedraging) yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
(iv) berbagai persyaratan (voorwaarden) yang mungkin diperlukan bagi ketiga unsur di atas.
Dikotomi antara peraturan (regels) dengan ketentuan lain (andere bepalingen) membawa paradigma yuridis bahwa di samping peraturan (hierarki dan non-hierarki berdasarkan UU 10/2004) terdapat berbagai bentuk ketentuan yang sebenarnya bukan merupakan peraturan, namun dianggap sebagai peraturan sehingga disebut dengan istilah legislasi semu. Dalam kenyataan sehari-hari masyarakat mengenal ketentuan lain itu  secara langsung atau tidak langsung, tertulis maupun tersirat, sehingga ketentuan lain itu dianggap juga sebagai peraturan. Sebagai contoh, suatu pedoman yang dikeluarkan oleh seorang pimpinan, yang secara langsung dan eksplisit diujukan kepada bawahannya, merupakan suatu ketentuan, yang dianggap sebagai peraturan karena itu dinyatakan berlaku.
Peraturan lain itu bersifat semu dan sering disebut peraturan semu (pseudowetgeving), yang  dapat diartikan sebagai peraturan (regelingen) yang disusun tanpa dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang memerintahkan pembentukannya (regelingen die niet op grond van een hoger wettelijke voorschrift worden vastgesteld).

Peraturan “Mengikat Umum”

Selanjutnya dalam aspek lain Van der Vlies menerangkan bahwa pembentuk undang-undang dan pemerintah dapat menyusun suatu peraturan tertulis yang mengikat umum (algemeen verbindende voorschriften) sesuai dengan ketentuan dengan Undang-Undang Dasar (Grondwet). Mengenai menteri, masih diperdebatkan apakah dapat mengumumkan peraturan yang mengikat orang banyak. Karena itu, peraturan yang dikeluarkan oleh menteri tanpa kekuasaan yang diberikan undang-undang untuk membuat peraturan (tertentu) tidaklah disebut sebagai peraturan tertulis yang mengikat umum, melainkan disebut “beleidsregels” (peraturan kebijakan). Perbedaan terminologi  harus memperlihatkan bahwa kekuatan mengikat dari peraturan kebijakan itu berbeda dan tidak berlaku untuk semua peristiwa, tidak seperti peraturan yang mengikat umum. Suatu peraturan dikatakan sebagai (peraturan) umum jika peraturan itu berlaku ke luar bagi mereka yang tercakup oleh peraturan itu. Untuk itu cukup memadai bahwa isi peraturan pelaksana itu mengatur peristiwa yang dapat diulang dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu (geindividieliseerde personen), tanpa memandang apakah orang-orang itu dikenal atau tidak dikenal oleh si pembuat peraturan.
Hakim dapat menyatakan suatu peraturan sebagai takmengikat karena peraturan itu bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Peraturan tersebut pada dasarnya memang suatu peraturan yang mengikat umum. Jadi tidak semua peraturan hukum dapat dianggap sebagai peraturan mengikat umum. Peraturan yang hanya berlaku di dalam organisasi interen pemerintah, misalnya, tidak dianggap sebagai peraturan yang mengikat umum.
Jika suatu peraturan hanya berlaku ke dalam, peraturan itu takmengikat dalam arti seperti yang dimaksudkan dalam istilah “peraturan yang mengikat umum”. Peraturan itu khususnya tidak mengikat organ lain di luar organ yang mengeluarkannya, dan peraturan itu pun tidak memberikan hak orang atau badan hukum. Syarat bahwa suatu peraturan yang mengikat harus ditujukan ke luar, dapat ditafsirkan bermacam-macam. Buijs menyebut peraturan yang berlaku ke luar sebagai peraturan yang memuat ketentuan yang memiliki sifat keumuman, langsung, serta segera melibatkan masyarakat (… regels extern werkend die een regeling behelsden die het karakter van algemeenheid droegen en waarbij het publiek rechtsreek en onmiddelijk was betrokken)
Dari uraian di  atas secara teoritik dapat dipahami adanya “peraturan lain” di luar hierarki dan non-hierarki (berdasarkan UU 10/2004, Pasal 7) yang sebenarnya juga muncul dalam pelaksanaan tugas pemerintahan sehari-hari.

Tugas Pemerintahan

Dalam bahasan hukum administrasi negara terdapat konsep cakupan tugas pemerintahan  yang berkembang menurut proses kausalitas dari bentuk-bentuk negara tertentu. Dengan mengutip pendapat Sondang P. Siagian mengenai peranan dan fungsi yang berbeda bagi pemerintahan, Marbun  & Mahfud MD menguraikan tiga bentuk negara sebagai berikut:
- bentuk political state, yang menegaskan kekuasaan berada ditangan raja (teori monarkhi absolut)
- bentuk legal state, yang menentukan bahwa pemerintah hanya sebagai pelaksana peraturan). Pemikiran ini berdasarkan teori pemisahan kekuasaan oleh John Locke (1632 – 1704) dan Montesquieu (1689 – 1755). Negara hanya menjadi wasit dan melaksanakan berbagai keinginan masyarakat yang telah disepakati bersama melalui pemilihan atas berbagai alternatif yang diputuskan negara secara demokratis-liberal;
- bentuk welfare state, yang menentukan bahwa tugas pemerintah diperluas untuk menjamin kesejahteraan umum dengan memberikan discretionary power dan freies Ermessen) kepada pemerintah. Ini berarti bahwa pemerintah diserahi tugas bestuurzorg yaitu penyelenggaraan kesejahteraan umum.
Dari tiga alternatif bentuk negara di atas, terlihat bahwa konsep “tria politika” berpengaruh terhadap UUD 1945, namun bentuk negara yang dirancang oleh para founding fathers tidaklah menganut sepenuhnya teori tersebut, dalam arti pemisahan kekuasaan, sehingga memiliki kekhasan sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan mencermati alinea dalam pembukaan UUD1945, dapat dipahami tujuan pembentukan pemerintah Indonesia antara lain adalah “memajukan kesejahteraan umum”, mirip sekali dengan bentuk ketiga (walfare state), sebagai dasar pemberian kewenangan diskresi yang lebih luas kepada Pemerintah.

Peraturan-peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels, Policy Rules)

Salah satu topik bahasan di kalangan ahli hukum administrasi adalah tentang sarana tata usaha negara yang digunakan oleh pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan umum pemerintahan. Selain dari dari sarana berupa keputusan tata usaha negara (beschikking), sarana tata usaha negara lainnya adalah dalam bentuk:
  1. Peraturan perundang-undangan dan keputusan tata usaha negara  yang memuat pengaturan yang bersifat umum;
  2. Peraturan-peraturan kebijaksanaan (beleidsregels);
  3. Rencana (het plan);
  4. Penggunaan sarana hukum keperdataan; dan
  5. Perbuatan materiil (feitelijke handelingan).
Peraturan kebijaksanaan terkait dengan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari yang menunjukkan betapa badan atau pejabat tata usaha negara acapkali menempuh pelbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan kebijaksanaan (beleidsregels, policy rule). Produk semacam peraturan kebijaksanaan ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies Ermessen, yaitu, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam pelbagai bentuk “juridische regels”, seperti halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran, dan mengumumkan kebijaksanaan itu.
Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bersifat  “naar buiten gebracht schriftelijk beleid” (menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis) namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan kebijaksanaan tersebut dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.
Pada tahun-tahun terakhir, peraturan-peraturan kebijaksanaan telah mengambil tempat yang makin lama makin penting di dalam hukum administrasi Belanda. Peraturan-peraturan kebijaksanaan juga ditandai dengan sebutan pseudo-wetgeving (perundang-undangan semu).

Kewenangan berdasarkan freies Ermessen

Untuk melaksanakan tugas menyelenggarakan kesejahteraan  umum, pemerintah diberi juga freies Ermessen yaitu kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum, seperti: memberi izin, melakukan pencabutan hak (onteigening), mendirikan rumah sakit, sekolah, perusahaan, dan sebagainya.
Tercakup pula dalam pengertian freies Ermessen membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan. Pencakupan demikian disebut discretionary power.
Freies berasal dari kata frei yang berarti bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sementara itu Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.
Istilah ini kemudian secara khusus digunakan di bidang [emerointahan, sehingga freies Ermessen (diskresioner) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagoi pejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Meskipun terdapat peluang melaksanakan tugas pemerintahan secara bebasss tanpa terikat sepenuhnya pada undang-undang, namun dalam kerangka Negara hukum harus dipahami bahwa unsure-unsur freies Ermessen dalam Negara adalah sebagai berikut:
  1. ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis public;
  2. merupakan sikap tindak yang aktif dari administrrasi Negara;
  3. sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
  4. sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
  5. sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.
Menurut E. Utrecht, seperti dikutip SF Marbun dan Mahfud MD, implikasi di bidang perundang-undangan  yang dapat dimiliki pemerintah berdasarkan freies Ermessen adalah:
- kewenangan atas inistiatif sendiri untuk membuat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang tanpa meminta persetujuan parlemen terlebih dahulu (Pasal 22 UUD 1945);
- kewenangan karena delegasi perundang-undangan dari UUD 1945, yaitu kewenangan membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah dari undang-undang dan yang berisi masalah-masalah untuk mengatur ketentuan-ketentuan yang ada di dalam undang-undang (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945);
- droit function yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang bersifat enunsiatif.
Untuk melaksanakan tiga bentuk kewenangan berdasarkan freies Ermessen pemerintah dilarang berbuat sewenang-wenang. Pemerintah dilarang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat detournement de pouvoir (melakukan sesuatu di luar tujuan kewenangan yang diberikan) atau disebut juga onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh pemerintah). Sebab setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya karena detournement de pouvoir atau onrechtmatige overheidsdaad dapat dituntut di muka hakim baik melalui peradilan administrasi negara maupun melalui peradilan umum.

 Full-lenght artikelnya bisa di download disini: http://www.ziddu.com/download/16603031/DoktrinNegaraHukumdanKewenanganPemerintahan.docx.html

0 comments:

Post a Comment