Tuesday, 3 January 2012

Reformasi Konstitusi: Perspektif Kekuasaan Kehakiman

Ditulis oleh Bambang WidjojantoKamis, 02 September 2010 
ABSTRACT
Constitution is fundamental norm of state because it contains the vision and objectives of the country and also propose the principles and basic rules governing the life of the nation, state and communities. One of the main important instrument in the system of state power is a judicial power. The independency of judicial power should be maintained and protected, indeed, the accountability of judicial power must be improved. There are 2 (two) changes period of the Constitution in a historical perspective of the Indonesia public institutions, such: firstly, the changes of constitution in the post-independence of the state; and secondly, the constitutional changing of new order period and/or in the early days of the order of the Reformation.

From 1999 up to 2002, at least 4 (four) times amendments of constitution has been done. The formulation of text constitution 1945 stated clearly that "the power of judiciary is independent authority for enforcing the law and justice". Independence should be enforces as one side of the coins are accompanied by accountability on the other side. It means that independency of judiciary which accompanied by accountability, could be minimized or reduced significantly, the potential causes of anarchism and corruption.

ABSTRAK
Konstitusi menjadi  dasar negara karena itu konstitusi memuat visi dan tujuan bernegara serta juga mengemukakan prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakan. Salah satu instrumen penting yang utama dalam sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman, Kekuasaan dimaksud harus senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan akuntabilitasnya. Ada 2 (dua) periode perubahan konsitusi dalam perspektif sejarah ketatanegaraan, yaitu: pertama, perubahan konstitusi pasca kemerdekaan; dan kedua, perubahan konstitusi di akhir periode Orde Baru dan/atau di awal periode Orde Reformasi.
Ada sekitar 4 (empat) kali amandemen, yaitu pada tahun 1999 hingga tahun 2002. Rumusan pasal yang dikemukakan di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Independensi harus ditegakkan sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitas pada sisi lainnya. Hal itu dimaksudkan agar independensi yang disertai akuntabilitas dapat secara signifikan meminimalisasi suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif.

A. Pendahuluan
Konstitusi yang tertulis dimiliki oleh hampir sebagian besar negara modern[1] dan konstitusi ada di seluruh negara yang demokratis. Konstitusi menjadi  dasar negara karena itu konstitusi memuat visi dan tujuan bernegara serta juga mengemukakan prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Pengaturan berbagai prinsip yang sangat mendasar di dalam suatu konstitusi seyogianya bersifat durabel karena dapat menjangkau kebutuhan masa datang yang jauh di depan serta juga harus senantiasa kontekstual dan kompatibel dengan kebutuhan dan dinamika perkembangan yang terjadi di dalam negara dimaksud. Pada titik inilah, perubahan atau reformasi suatu konsitusi menjadi suatu kebutuhan dan hal yang tidak dapat dielakkan.
Salah satu instrumen penting yang utama dalam sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman. Instrumen dan sub sistem kekuasaan dimaksud harus senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan akuntabilitasnya di hadapan dan dalam kaitannya dengan organ dari sub-sistem cabang kekuasaan lainnya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Upaya dan tindakan di atas ditujukan agar kekuasaan kehakiman dapat menjalankan fungsi dan wewenangnya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, melindungi hak-hak dasar warga negara, mengontrol potensi penyalahgunaan wewenang dari kekuasaan, dan menyelesaikan sengketa antarwarga negara maupun antarlembaga negara dan pemerintahan.
Tulisan ini akan mengkaji sejauh mana diperlukan suatu perubahan konstitusi untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang lebih independen dan akuntabel sehingga dapat mencapai cita-cita dan maksud pembentukan suatu negara yang seyogianya ditujukan bagi kepentingan dan kemaslahatan rakyat, khususnya dalam konteks Indonesia.

B. Konteks dan Peran Konstitusi
Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa setiap negara memiliki konstitusi dan sebagian besarnya konstitusi dimaksud bersifat tertulis. Michael J Perry menyatakan “...Constitution ... shall be the supreme Law of the Land ...”.[2] Konstitusi dalam the usual text book juga disebut sebagai “fundamental norm or basic law” dan juga didefinisikan sebagai “the concrete, collective condition of political unity and social order of a particular state”.[3]
Bilamana ditelaah lebih lanjut, suatu konstitusi memuat semacam “power map” yang merumuskan bagaimana organ dan sistem kekuasaan berkerja. Eric Barendt menyatakan “... ‘power map’ ...its function is to organize politicl authority ... so it cannot be used oppressiveyl or arbitrarily  ...”. Secara umum suatu konstitusi memuat beberapa hal penting yang lazim diatur, yaitu:
kesatu, rumusan mengenai cita-cita, tujuan dan hal-hal yang berkaitan cara pencapaiannya, selain mengenai simbol, lambang, batas dan letak negara:
kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hak dasar atau prinsip hak asasi manusia yang menjadi hak dari setiap warga negara yang wajib dilindungi oleh negara;
ketiga, pokok pikiran dan perumusan mengenai sistem hukum, sistem kekuasaan dan pemerintahan, faham demokrasi serta sistem dan mekanisme check and balances kekuasaan;
keempat, pengaturan mengenai organ, peran dan lingkup kewenangan dari instrumen kekuasaan. Oleh karena itu akan dirumuskan apa saja organ dan instrumen penting kekuasaan negara, apa saja tugas dan wewenang suatu lembaga negara, bagaimana mekanisme dan tata hubungan antara suatu organ dengan instrumen lainnya dalam membentuk sistem kekuasaan;
kelima, prosedur atau tata cara dan mekanisme yang mengatur hubungan, pelaksanaan dan pengusahaan hal penting tertentu di dalam negara seperti: pengelolaan sumber daya alam dan mengatur mekanisme pemilihan kepala pemerintahan;
Di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dikemukakan secara tegas seperti tersebut pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan Pasal 1 ayat (2) menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
Negara hukum yang didasarkan atas kedaulatan rakyat tersebut adalah dasar suatu sistem dari Pemerintah Negara Republik Indonesia yang mempunyai tujuan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan ... dan keadilan sosial ...” sesuai dengan pembukaan konstitusi.[4]
Uraian di atas hendak menegaskan, negara hukum harus didasarkan pada kedaulatan rakyat dan ditujukan untuk kepentingan perlindungan segenap bangsa serta mewujudkan kesejahteraan. Konsep, kerangka teoritik, serta prinsip negara hukum yang antara lain meliputi: asas legalitas, persamaan dalam hukum, pembatasan kekuasaan, perlindungan hak asasi, peradilan yang bebas dan tidak memihak seyogianya ditujukan untuk melindungi kepentingan rakyat.
Pada konteks itu, organ kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman tidak hanya dipersyaratkan harus merupakan kekuasaan yang bebas dan tidak memihak saja, tetapi juga harus berpihak dan bertujuan untuk melindungi kepentingan dari rakyat sang pemilik kedaulatan. Montesquieu sebagai French Jurist di dalam The Spirit of the Laws (1748) mengemukakan ide constitutionalism yang dihubungkan the separation of powers dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman menyatakan “... the judiciary should be independent of the legislature and executive ...”.[5]

C. Reformasi Konstitusi
Jika dilakukan analisis dalam perspektif sejarah maka setidaknya ada 3 (tiga) gelombang perubahan konstitusi yang pernah terjadi dalam pembentukan konstitusi di dunia, yaitu misalnya antara lain:
1.     Pada periode kolonialisme. Pada kurun waktu tersebut, kekuatan dan sistem kekuasaan dari negara penjajah telah memaksakan kekuasaannya pada setiap negara jajahannya untuk menggunakan hukum yang berasal dan berpihak pada kepentingan penjajah. Inilah periode awal perubahan hukum di sebagian besar negara jajahan pada periode zaman penjajahan. Pada masa itu, tata hukum dan tata hubungan antarwarga negara dilakukan dengan menggunakan sistem dan hukum kekuasaan dari penjajah. Negara yang dijajah “dipaksa” untuk tunduk di bawah aturan konstitusi penjajah yang sebagiannya diatur secara eksepsional. Hak “bumiputera” berbeda dengan warga negara Belanda ataupun kaum ningratnya. Hal ini dapat dilihat dalam periode penjajahan Belanda atas Indonesia, ataupun negara-negara yang berada dalam penjajahan Inggris;[6]
2.     Pada dekade sekitar tahun 1940 an. Pada periode ini terjadi perlawanan dari negara jajahan untuk membebaskan dirinya dari kekuasaan penjajah mulai terjadi dan sebagiannya berhasil mendeklarasikan pembebasannya menjadi negara yang merdeka. Dalam kurun waktu ini, terjadi perubahan konstitusi karena negara yang merdeka mulai melakukan reformasi konstitusinya agar sesuai dengan kepentingannya sendiri. Perubahan konstitusi ditujukan untuk memberikan “moral authority or legitimacy” pada awal kemerdekaan bangsa dimaksud guna membedakannya dari dan dengan konstitusi penjajahnya. Tentu saja, ada beberapa negara yang mendapatkan kemerdekaannya tidak melalui proses revolusi sehingga terjadilah proses adaptasi atau transplantasi sistem kekuasaan negara penjajah kepada negara jajahannya dengan berbagai modifikasi tertentu yang kemudian kelak dirumuskan dalam konstitusi. Hal ini dapat dilihat di hampir sebagian besar negara Commonwealth;
3.     Pada periode tahun 1990 an. Pada kenyataanya, di sebagian besar negara yang semula berhasil membebaskan dirinya dari kekuasaan kolonialisme secara perlahan berubah menjadi negara yang otoriter. Para penguasa yang semula diberikan mandat untuk menjalankan kekuasaan demi dan untuk sepenuh-penuhnya kepentingan rakyat telah menjadi kekuasaannya itu untuk kepentingan sendiri dan atau bersama kelompoknya saja. Penguasa dimaksud telah memegang kekuasaan selama 2 hingga 4 dekade serta mereka telah memberikan justifikasi munculnya gerakan masyarakat kritis yang akhirnya membesar menjadi gerakan sosial yang mempunyai tuntutan untuk membebaskan masyarakat dari kekuasaan otoriter. Negara yang mengalami proses revolusi dimaksud biasanya melakukan perubahan yang signifikan di dalam menata sistem kekuasaannya melalui perubahan konstitusi. Hal ini dapat dilihat di berbagai negara seperti: Korea Selatan, Afrika Selatan, Philipina, dan termasuk Indonesia.
Di dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, setidaknya ada 2 (dua) periode perubahan  konstitusi, yaitu: pertama, perubahan konstitusi pasca kemerdekaan, di sepanjang periode Orde Lama dan sebelum masa Orde baru. Konstitusi dimaksud adalah UUD Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian diganti dengan UUD Republik Indonesia Serikat dan selanjutnya diubah dengan UUD Sementara Repbublik Indonesia, dan pada akhirnya kembali lagi ke UUD Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, perubahan konstitusi di akhir periode Orde Baru dan/atau di awal periode Orde Reformasi. Ada sekitar 4 (empat) kali amandemen, yaitu pada tahun 1999 hingga tahun 2002. Konstitusi hasil amandemen dimaksud yang hingga kini menjadi dasar negara yang biasa disebut sebagai UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di dalam perspektif lainnya, konstitusi Indonesia dapat dikualifikasi sebagai rigid constitution karena “wholly” unamandable. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan adanya “kesepakatan dan konsennsus” untuk tidak mengubah pembukaan konstitusi atau hal tertentu[7]dan/atau prosedur perubahan konstitusi diatur sedemikian sulitnya.[8] Konstitusi Indonesia sebelum amandemen dapat dikualifikasi sebagai konstitusi yang sangat “pendek” karena memuat 37 buah pasal saja, kendati pasca amandemen berubah menjadi 81 pasal ditambah 3 pasal aturan peradlihan dan 2 pasal aturan tambahan, bila dibandingkan dengan Konstitusi Jerman yang memuat 146 pasal atau Konstitusi India yang memuat sekitar 400 an pasal.

D. Perubahan Konstitusi dan Reformasi di Bidang Kekuasaan Kehakiman
Perubahan konstitusi biasanya mempunyai pengaruh terhadap pola hubungan kekuasaan di antara organ kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman. Secara umum, suatu konstitusi memuat prinsip yang menolak pemusatan kekuasaan.  Eric Barendt menyatakan “the principle is concerned with the avoidance of concentration of power ... the each branch of goverment – legislature, executive, and judiciary – is able to check and exercise of power by the others ...”.[9]
Pada konteks perubahan konstitusi di Indonesia seperti telah diuraikan di atas sesungguhnya perubahan dimaksud mempunyai pengaruh dan kaitan erat dengan sistem kekuasaan kehakiman.
Uraian di bawah ini akan menjelaskan pengaruh dan kaitan erat antara perubahan konstitusi dengan sistem kekuasaan kehakiman melalui kajian pada rumusan yang tersebut dalam UUD Tahun 1945 sebelum dan pasca amandemen dihubungkan dengan ajaran Trias Politika. Analisis juga mengkaji, apakah sistem kekuasaan di Indonesia menganut pemisahan kekuasaan ataukah pembagian kekuasaan. Berdasarkan telaahan tersebut baru kemudian akan dihubungkan dengan sistem kekuasaan kehakiman.
Hal lain yang juga akan menjadi objek kajian adalah, problem dan dinamika dalam penerapan kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD Tahun 1945 karena pada konstitusi amandemen, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta adanya lembaga Komisi Yudisial yang menjadi bagian dari sistem kekuasaan kehakiman.
Ada 2 (dua) perdebatan utama dalam kaitan antara UUD 1945 dengan Trias Politika. Sebagian kalangan menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menganut sistem Trias Politika karena pada dasarnya organ negara tidak hanya meliputi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja. UUD 1945 sebelum amandemen juga mengenal organ negara yang biasa disebut sebagai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Pasca reformasi dan seperti tersebut di dalam amandemen konstitusi dalam UUD Tahun 1945, kini ada beberapa organ negara lainnya seperti: suatu lembaga bank sentral, suatu komisi pemilihan umum, alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban dan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Ada pendapat lainnya yang menyatakan, rumusan UUD Tahun 1945 dapat dikualifikasi menganut ajaran Trias Politika karena organ negara terpenting hanyalah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Organ negara lainnya tidak disebut sebagai organ negara utama sehingga UUD 1945 dikualifikasi sebagai menganut ajaran Trias Politika.
Pasca amandemen UUD Tahun 1945, lembaga legislatif tidak hanya meliputi: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja tetapi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga Yudikatif tidak hanya menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi serta adanya lembaga yang disebut sebagai Komisi Yudisial.
Kendati tidak menjadi salah satu perdebatan utama tetapi acapkali diajukan pertanyaan, apakah sistem kekuasaan di Indonsia menganut sistem kekuasaan yang didasarkan pada “pembagian” kekuasaan, ataukah “pemisahan “ kekuasaan. Secara umum, ahli tata negara di Indonesia menganut pendapat yang menyatakan bahwa sistem kekuasaan di Indonesia seperti dirumuskan di dalam konstitusi adalah “pembagian” kekuasaan.
Jika pendapat di atas dikaitkan dan diletakkan dengan dan dalam konteks kekuasaan kehakiman maka akan timbul pertanyaan, apakah kekuasaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan yang didasarkan atas pembagian kekuasaan ataukah kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan lainnya.
Pada UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dikemukakan “kekuasaan kehakiman dilakukan sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Lebih lanjut dikemukakan “susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Ketentuan pasal di atas hanya menjelaskan, siapa yang menjelaskan kekuasaan kehakiman dengan tetap membuka peluang adanya lembaga lain yang juga dapat menjalankan kekuasaan kehakiman. Selain itu, rumusan pasal di atas tidak secara tegas mengatur dan menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan lainnya karena susunan dan kedudukannya diserahkan pengaturannya dengan undang-undang.
Pada situasi sedemikian, eksekutif dan legislatif mempunyai potensi dan memiliki keleluasaan untuk manafsirkan dan merumuskan kekuasaan kehakiman menurut interpretasinya sendiri dan/atau kekuasaan kehakiman yang berpihak pada kepentingannya sendiri.
Ada perbedaan yang cukup tegas jika membandingkan rumusan pasal kekuasaan kehakiman menurut UUD Tahun 1945 dengan konstitusi pasca amandemen. Rumusan pasal yang dikemukakan di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal dimaksud menjelaskan sifat dan tujuan dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu: kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum serta keadilan. Frasa kata “kekuasaan yang merdeka” dalam pasal tersebut memperlihatkan dan sekaligus menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang terpisah dari cabang kekuasaan lainnya.
Pasal 24 ayat (2) juga telah mengemukakan, siapa penyelenggara kekuasaan kehakiman karena pasal dimaksud menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Penyebutan yang tegas tentang siapa penyelenggara kekuasaan kehakiman membuat kejelasan, siapakah lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Kendatipun demikian, konstitusi juga menyatakan “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Frasa seperti dikemukakan di atas akan menarik jika dikaitkan dengan lembaga Komisi Yudisial yang dikemukakan secara eksplisit didalam Pasal 24B UUD 1945. Tugas wewenang komisi mempunyai hubungan dan berkaitan erat dengan lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman, yaitu: Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi. Tugas dan wewenang dimaksud adalah: kesatu, mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan kedua, menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pertanyaan yang perlu diajukan untuk mendapatkan kajian, apakah Komisi Yudisial dapat dikualifikasi sebagai salah satu badan dari kekuasaan kehakiman? Ketentuan yang mengatur perihal Komisi Yudisial berada di dalam Bab IX, Kekuasaan Kehakiman UUD Tahun 1945; ataukah, Komisi Yudisial adalah sebuah badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sesuai dengan rumusan wewenangnya seperti telah dikemukakan di atas.
Jika diasumsikan bahwa Komisi Yudisial sebuah badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dengan wewenang tertentu, pertanyaan lainnya yang perlu diajukan, apakah konstitusi memberikan legitimasi pada undang-undang untuk merumuskan tata cara dan mekanisme kerja pelaksanaan wewenang tersebut di dalam suatu undang-undang?
Pada Pasal 24B ayat (4) UUD Tahun 1945 dikemukakan “susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Jika berpijak secara rigid dari apa yang dikemukakan di dalam konstitusi maka pasal dimaksud menjelaskan bahwa yang perlu dirumuskan di dalam sebuah undang-undang berkaitan dengan Komisi Yudisial adalah mengenai susunan, kedudukan, dan keanggotaan komisi tetapi tidak dikemukakan agar diatur hal yang berkaitan dengan tata cara dan mekanisme kerja serta pelaksanaan wewenang komisi atau mengenai hal lainnya di dalam suatu undang-undang.
Jika interpretasi rigid yang sangat legalistik itu digunakan maka Komisi Yudisial tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya karena konstitusi tidak cukup mengatur pelaksanaan tugas dan wewenang komisi. Seyogianya ada undang-undang yanag mengatur tata cara,  mekanisme pelaksanaan tugas, dan wewenang Komisi Yudisial agar tidak terjadi benturan dan bahkan konflik dengan lembaga kekuasaan kehakiman lainnya. De facto, materi dan mekanisme pengawasan masih belum dapat diselesaikan secara “tuntas” antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat dikemukakan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1.     Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan konstitusi dan di setiap perubahan konstitusi dimaksud terjadi perubahan rumusan pasal yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari fakta perubahan pasal dan bagian kekuasaan kehakiman antara yang dirumuskan di dalam UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dan pasca amandemen;
2.     Perubahan rumusan pasal seperti tersebut di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen, seperti dirumuskan dalam Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C memperlihatkan adanya perbaikan rumusan pasal yang mempunyai tujuan untuk menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan;
3.     Perbaikan lain yang dirumuskan dalam UUD Tahun 1945 meliputi: kesatu, menjelaskan siapa saja yang melakukan kekuasaan kehakiman; kedua, apa saja wewenang dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial; ketiga, adanya perntah untuk merumuskan susunan, kedudukan dan keanggotaan diatur di dalam undang-undang; keempat, hukum acara dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga diminta untuk diatur di dalam suatu undang-undang;

E. Gagasan Perubahan Konstitusi dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman
Kendatipun telah dilakukan perubahan yang cukup signifikan dalam pengaturan hal ichwal kekuasaan kehakiman di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen, masih ditemukan beberapa hal lainnya yang dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya kekuasaan kehakiman secara terhormat dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi.
Publik telah mengetahui dan mahfum bahwa pada periode Orde lama dan Orde Baru ada masalah utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman berkenaan dengan intervensi kekuasaan dan kepentingan politik serta eksekutif. Intervensi dimaksud dilakukan melalui:
kesatu, kedudukan mahkamah ditempatkan sebagai bagian dari instrumen kekuasaan politik Orde Lama untuk menjalankan politik “revolusioner” dari kekuasaan;
kedua, pada periode Orde Baru, mahkamah tidak lagi secara eksplisit menjadi bagian dari kepentingan tetapi ada “kontrol politik” terhadap tugas dan wewenang mahkamah. Kontrol dmaksud antara lain meliputi:  mekanisme rekruitmen hakim agung, pemilihan dan pengangkatan ketua mahkamah, kontrol eksekutif atas promosi dan mutasi para hakim di lingkungan mahkamah, politik anggaran yang disusun dan dirumuskan dengan campur tangan yang cukup intensif dari birokrasi pemerintahan;
Pasca Orde Baru, masalah utama seperti diuraikan di atas tidak lagi sepenuhnya dapat didesakkan kepada mahkamah karena adanya rumusan pasal di dalam konstitusi yang cukup tegas yang menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. De facto, Mahkamah Agung pada saat ini sudah: kesatu, dapat melakukan promosi dan mutasi secara mandiri tanpa campur tangan lagi dari birokrasi; kedua, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim agung dan hakim konstitusi sendiri; ketiga, mahkamah dapat menyusun dan merumuskan secara mandiri anggaran yang diperlukan untuk menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
Kendati ada perubahan yang menjaga dan mewujudkan eksistensi dan prinsip dasar kekuasaan kehakiman, publik masih merasakan adanya fakta yang memperlihatkan, kekuasaan kehakiman belum sepenuh-penuhnya menjadi terhormat, bermartabat, dan mempunyai standar kinerja dengan akuntabilitas yang tinggi.
Tentu saja, pendapat publik tersebut tidak dapat menafikkan berbagai upaya yang terus menerus dilakukan oleh mahkamah dan jajarannya. Ada beberapa fakta yang senantiasa diajukan oleh sebagian publik untuk mendukung alasan dan argumentasi tuntutannya yang secara sepihak, yaitu dengan menyatakan antara lain:
1.     Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan belum sepenuhnya dapat diterapkan secara absolut. Tunggakan perkara belum dapat diselesaikan secara tuntas, di samping begitu banyaknya jumlah perkara yang diterima oleh Mahkamah Agung untuk diselesaikan. Fakta ini berbanding terbalik dengan proses yang terjadi di Mahkamah Konstitusi yang sudah menerapkan prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam menangani perkara-perkara yang menjadi tugas dan  wewenangnya;
2.     Publik belum secara luas bisa mendapatkan akses infomasi terhadap proses dan tahapan peradilan dari suatu perkara yang diajukannya, khususnya di tingkat banding dan kasasi. Tidak jelasnya tahapan proses dan waktu penyelesaian perkara membuat para justiabel menjadi “gamang” dan bertanya-tanya, apakah kasusnya sedang atau sudah ditangani oleh pengadilan, baik pada tingkatan banding maupun mahkamah. Di sisi lainnya, mahkamah juga telah mengeluarkan Surat Edaran yang mengatur tentang akses informasi;
3.     Proses peradilan yang memungkinkan belum dapat diwujudkan peradilan yang bersih dengan akuntabilitas yang tinggi. Pada saat ini, mahkamah dan pengadilan di bawahnya mempunyai keleluasaan untuk menggunakan kewenangannya secara bebas. Independensi yang absolut tanpa disertai kontrol yang baik tidak akan menghasilkan akuntabilitas, bahkan potensial memunculkan potensi abuse of power;. Secara umum hendak dikatakan bahwa hal yang paling subtil dari kekuasaan kehakiman adalah adanya jaminan kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan kekuasaan peradilan. Tidak ada kekuasaan kehakiman jika independensi dalam menjalankan wewenangnya “dirampok” atau mudah “diintervensi”. Periode Orde lama dan Orde Baru menjadi menjadi pelajaran penting ketika kekuasaan kehakiman dijadikan bagian dari kepentingan kekuasaan revolusi dan/atau Presiden punya kekuasaan untuk menentukan siapa yang dapat menjadi hakim agung dan ketua Mahakamah Agung.
4.     Ada beberapa putusan pengadilan yang mendapat sorotan publik karena bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Bandingkan saja, putusan yang menyangkut nenek Minah, Jaksa Esther yang menggelapkan barang bukti narkoba dan putusan Gayus Tambunan yang divonis bebas padahal diketahui meneriuma gratifikasi hampir sekitar 25 miliar rupiah. Sebalikya juga ada putusan yang diapresiasi publik, seperti putusan dalam kasus Prita Mulyasari.
5.     Adanya sinayaelemen yang diajukan aktivis anti korupsi yang mensinyalir adanya tendensi putusan pengadilan dalam kasus-kasus korupsi yang hukumannya ringan dan bahkan sebagiannya dibebaskan. ICW merilis berita bahwa putusan dengan hukuman percobaan, sanksinya ringan dan malah dibebaskan;
Berbagai uraian yang dikemukakan di atas memperlihatkan tantangan lain yang kini muncul yang ditengarai dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya kekuasaan kehakiman secara terhormat dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pada akhirnya, tantangan dimaksud muncul dari berbagai fakta dalam penerapan kekuasaan kehakiman telah dinilai masyarakat bahwa peradilan belum sepenuhnya dapat ditegakkan sesuai dengan tujuan dari kekuasaan kehakiman yaitu menegakkan hukum dan keadilan.
Jika fakta di atas dikaji secara mendalam maka perlu diajukan suatu pertanyaan kritis, apakah fakta penerapan proses peradilan di atas adalah problem penegakan hukum, dan tidak berkaitan langsung dengan rumusan pasal yang telah dikemukakan di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen?
Begitupun halnya dengan adanya fakta yang menegaskan, independensi yang absolut ternyata potensial menciptakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power seperti telah dikemukakan di atas. Ketidakprofesionalan, kesengajaan melakukan tindakan koruptif, dan kesewenang-wenangan dapat berlindung di balik independensi sehingga tidak hanya merugikan para justiabel saja, tetapi juga merusak martabat dan kehormatan hakim dan kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Itu sebabnya pertanyaan yang perlu diajukan dengan adanya diskursus publik dan adanya tuntutan yang kian menguat, apakah independensi harus dilekatkan dan diletakkan juga dalam prinsip akuntabilitas sehingga kekuasaan kehakiman seyogianya sebagai kekuasaan yang merdeka dan akuntabel.
Independensi harus ditegakkan sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitas pada sisi lainnya. Hal itu dimaksudkan agar independensi yang disertai akuntabilitas dapat secara signifikan meminimalisasi suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka ada kebutuhan untuk meningkatkan kualitas kekuasaan kehakiman. Salah satu cara yang tersedia adalah melakukan amandemen konstitusi dan untuk itu diusulkan beberapa hal, yaitu:
1.     Konstitusi harus merumuskan secara tegas dan jelas prinsip akuntabilitas. Prinsip dimaksud menjadi prinsip yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan prinsip independensi. Terbuka peluang untuk menegaskan perlunya prinsip profesional, jujur, dan adil sebagai prinsip dasar dalam menjalankan kekuasaan kehakiman karena penyelenggaraan pemilu saja sesuai konstitusi harus dilakukan secara jujur dan adil selain langsung, umum, bebas dan rahasia apalagi bila melaksanakan kekuasaan kehakiman.
2.     Komisi Yudisial dalam sistem kekuasaan kehakiman. Apakah Komisi Yudisial hendak diletakkan sebagai salah satu badan dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi pengawasan, selain tugas dan wewenang lainnya yang dirumuskan; ataukah, Komisi Yudisial hanyalah sebuah badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman saja;
3.     Konstitusi seyogianya mengatur prinsip mekanisme pelaksanaan wewenang dari lembaga yang berada di dalam kekuasaan kehakiman, yaitu di antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Misalnya saja, apakah Komisi Yudusial juga punya wewenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim konstitusi; dan apakah pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial di atas hanya dengan fokus di bidang etik dan perilaku yang tidak berkaitan langsung dengan pelaksanaan kewenangan mengadili ataukah pada hal-hal tertentu dapat “masuk”.[10]


DAFTAR PUSTAKA
Carl Schmitt, Constitutional Theory, Duke University Press, 2008.
Eric Barendt, An Introduction to Constitutional Law, Oxford University Press Inc., 1998.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, 2005.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Kuasa konstitusi, KRHN, 2004.
Krisna Harahap, Konstitusi republik Indonesia: Sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri, 2004.
Larry Alexander (ed), Constitutionalism: Philosophical Foundations, Cambridge University Press, 1998, First Published.
MJC Vile, Constitutionalism and the Separation of Powers, Oxford, 1967.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



End Note:
[1] Eric Barendt di dalam An Introduction to Constitutional Law menyatakan “a standard question of what are constitutions” ...the constitution of state is the written document or text ...”.
[2] Larry Alexander (ed), Constitutionalism: Philosophical Foundations, Cambridge University Press, 1998, First Published, hlm 99.
[3] Carl Schmitt, Constitutional Theory, Duke University Press, 2008, hlm 59.
[4] Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[5] MJC Vile, Constitutionalism and the Separation of Powers, Oxford, 1967.
[6] India memperoleh kemerdekaannya di tahun 1950 dan Nigeria di tahun 1963 mengadopsi prinsip dasar yang tersebut dalam Westminster Parliament yang ada di Inggris.
[7] Pasal 37 ayat (5) UUD Tahun 1945 menyatakan “Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
[8] Lihat Pasal 37 UUD Tahun 1945.
[9] Eric Barendt, op.cit, hlm 15.
[10] Untuk ilustrasi dapat diajukan 2 (dua) contoh, misalnya: kesatu, pada pemeriksaan Majelis Kehormatan Hakim dapat dibuktikan adanya “suap” yang potensial mempengaruhi putusan, apakah putusan yang dibuat oleh hakim yang disuap dapat dianulir melalui suatu mekanisme tertentu selain menghukum si penyuap dan penerima suap; kedua, Ada suatu putusan yang nampaknya dibuat secara tidak profesional padahal merupakan hal yang mendasar dan seyogianya tidak dilakukan seorang hakim. Fakta sedemikian bukan hanya pada putusan saja tetapi beberapa putusan yang menyangkut pihak dan kepentingan tertentu sehingga menimbulkan “suspected” tetapi belum dapat dubuktikan adanya suap. Apakah Komisi dapat ddiperkenankan untuk memeriksa kasus sedemikian?.

0 comments:

Post a Comment